Suatu hari, seorang gadis remaja terbangun dari
tidurnya. Mimpi semalam membuat matanya semakin terasa berat untuk sekadar
memandang. Dia berniat untuk membasuh muka dahulu supaya nyawanya berkumpul kembali.
Setelah membasuh muka, ia menutup kran wastafel.
Mata besarnya yang jernih—dan sering dipuji banyak orang—itu menatap cermin
didepannya. Dan disana ia melihat pantulan bayangannya sendiri. Betapa kacaunya
penampilan itu; lingkaran gelap sekitar kedua mata, sorot mata yang tak bergairah,
serta rambutnya yang acak-acakan. Ditambah satu hal yang membuat dirinya
terlihat semakin suram: ujung bibir yang tertarik ke bawah.
Ia sudah lupa kapan terakhir kali dirinya terlihat
begitu menyenangkan dimata orang lain. Ia, Finnesa Hutcterson yang dulu. Yang
selalu ceria, fresh, dan tak banyak
memikirkan beban. Karena semenjak hari itu—tanggal 8 maret, hari-harinya terasa
suram. Semuanya menjadi keruh. Seolah bayang-bayang yang ingin ia gapai,
memudar lalu menghilang. Tanpa jejak.
Karena sejak saat itu, masalah datang satu per satu.
Belum sempat diselesaikan sudah muncul yang baru lagi, jadi menumpuk. Nesa
terjatuh, remuk, dan kehilangan semangat untuk kembali bangkit. Tak ada lagi
alasan yang bisa membuatnya tersenyum tulus dari lubuk hati. Mata yang
berapi-api itu hanya kedok dari penjara hatinya. Saat ia tertawa bersama
teman-teman, pikirannya tak lepas dari bayang-bayang kesalahan. Benar, dengan
kata lain, dia memang munafik.
——
Sempat kali hatinya berharap akan ada orang yang
menyelamatkannya dari penjara itu; jurang yang sangat dalam tanpa celah untuk
keluar dari dalam sana. dia tak bisa memanjatnya sendiri dengan tangan
kosong—muluk sekali, pikirnya. Meski nyatanya ia pernah beberapa kali mencoba,
tapi gagal. Berulang kali pula ia terjatuh kembali. Dan sakit yang dirasakannya
jadi semakin dalam saja.
Sambil terdiam dan meredam sakitnya, acap kali ia
meyakinkan dirinya kalau ia tak pernah kehilangan. Karena dia tidak pernah
memiliki. Segala sesuatu di dunia ini hanyalah titipan. Dengan begitu, sampai
saat ini dia hanya melepas dua orang yang dia sayangi, dan mengembalikan satu
orang yang dicintainya pada pemiliknya semula. Ya, semuanya hanya tipuan.
Jangan tertipu dengan dunia yang fana dan menjemukan ini, batinnya menguatkan.
Kadang manusia
lupa darimana semuanya berawal. Dengan segala yang ada di dunia ini, mereka
jadi buta, tuli dan bodoh.
Suara derap langkah mendekat ke pucuk jurang. Nesa
mendongak. Hatinya berharap akan ada orang yang kali ini akan menyelamatkannya. Dengan segenap harapannya, ia
berteriak meminta tolong.
“Seseorang atau siapa pun, di sana!! Kumohon, tolong
aku!”
Tak disangka, harapannya terkabul. Orang itu
mendengarnya lalu melemparkan ujung tali padanya untuk menariknya keluar dari
jurang itu.
Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya
saat ini. Entah itu bahagia, berterima kasih atau terharu. Semuanya karena seseorang
yang mengakui keberadaannya itu. Selama ini dia tidak pernah menemui orang yang
benar-benar peduli padanya—tidak sampai orang itu datang. Dan menolongnya untuk
keluar dari jurang mengerikan itu.
Ku bahagia kau telah terlahir di dunia...
Dan kau ada di antara milyaran manusia...
Dan ku bisa dengan radarku menemukanmu...
Dan kau ada di antara milyaran manusia...
Dan ku bisa dengan radarku menemukanmu...
——
Wanita cantik dengan senyum menawan itulah dewi
penolongnya. Namanya Hujan. Nama yang tidak cocok untuk wanita yang terlihat
dewasa dengan segala keanggunannya. Jika lumrahnya hujan berarti bersedih,
makna itu tidak berlaku bagi wanita cantik bernama Hujan. Hidupnya terlihat
tanpa beban, senyumnya selalu memberi kehangatan bagi siapa pun yang
melihatnya. Dia wanita yang luar biasa. Nesa mengaguminya.
Hari demi hari berlalu.
Nesa semakin dekat dengan Hujan. Hubungan mereka
bisa dikatakan seperti seorang adik dan kakak. Bagi Nesa, tiada hari tanpa bertemu
dengan Hujan, untuk sekadar mendengar suaranya yang indah, melihat parasnya
yang cantik, dan mencium wanginya yang harum. Dia wanita yang sempurna. Meski
sangat bertolak belakang dengan Nesa—dan segudang kecacatannya, Nesa merasa
sangat nyaman berada di dekat Hujan. Entah karena apa. Hujan pun tidak
mempermasalahkan hal itu, ia tidak terlihat terganggu dengan sikap Nesa yang
selalu bermanja-manja dengannya.
Tapi, pada suatu hari yang cerah, Nesa melihat
lingkaran berwarna gelap di sekitar mata Hujan. Nesa tahu ada yang tidak beres.
Pastilah Hujan baru menangis. Tapi karena Hujan tak bercerita apa pun, maka
Nesa pun bungkam. Mungkin ia sedang tidak ingin bercerita, atau memang tidak
ingin membagi masalahnya pada Nesa. Memang ada kalanya semua hal tidak bisa
diceritakan pada orang dekat sekalipun, bukan?
Nesa hanya ingin membantunya. Ia merasa masih perlu
untuk membalas hutang budinya dahulu. Bagaimana pun juga, Nesa telah
diselamatkan dari keputusasaannya. Mungkin inilah saat baginya untuk membalas
kebaikan Hujan.
Pada hari berikutnya, dan hari-hari setelah itu...
Nesa tidak bertemu lagi dengan Hujan. Wanita itu
menjadi sulit dihubungi. Dia seperti menghilang tanpa jejak. Nesa merasakan
firasat buruk. Dia tidak inginberpikiran negatif dahulu, jadi dia mencari
kemanakah Hujan pergi. Wajah terakhirnya yang terlihat sedih membuat wajah itu
tidak bisa beranjak dari pikiran Nesa. Nesa terus terbayang wajah cantik itu
yang—tidak seperti biasanya—menangis.
Hari-hari berikutnya menjadi semakin sulit bagi
Nesa. Kisah mereka seperti berada di ujung tanduk. Tidak jelas, menggantung,
dan begitu menyiksa.
Sepulang dari mini
market, Nesa berniat untuk mengunjungi kembali apartemen tempat tinggal
Hujan. Semoga kali ini dia bisa bertemu
dengannya, untuk membayar hutang rindunya yang terus menumpuk. Sambil berpikir
begitu, Nesa tidak bisa berhenti tersenyum.
Tapi senyumnya itu hilang seketika. Saat ia melihat
Hujan sedang bersama orang lain. Berada tepat di seberang jalan sana. Dia
terlihat bahagia. Tersenyum dan tenggelam dalam dunianya bersama orang
disampingnya. Dan Nesa mematung.
Ia rindu senyum itu, tawa itu, juga harum wanginya.
Selama beberapa hari tidak ada kabar, ternyata dia baik-baik saja... meski bersama orang lain.
Entah kenapa, Nesa merasa ada jarak dan pembatas
yang kokoh antara dia dengan dunia Hujan saat ini. Pembatas yang tak kasat
mata, tetapi begitu jelas dirasakan. Hatinya terasa teriris. Lalu apa arti
hubungan kakak-adik mereka selama ini?
Hanya ada satu
kebenaran diantara semua kebohongan.
Langkah Nesa sedikit terburu saat menyeberang jalan
untuk menemui mereka. Hujan dan orang itu tidak melihatnya, mereka berjalan
sambil berbincang ringan. Hujan terlihat ceria tanpa beban.
Beberapa langkah kaki lagi Nesa akan memperkecil
jarak diantara mereka. Hatinya berdebar tak keruan. Apa yang akan terjadi
nanti? Rindu yang selama ini terpendam mungkin saja akan meluap...
Seseorang disamping Hujan menyadari kehadiran Nesa.
Dia melirik padanya. Meski Nesa tahu mereka belum pernah bertemu sebelumnya,
ekspresi orang itu menunjukkan ketidaksukaan. Wajahnya tampak tak ramah, dan...
seolah menyuruh Nesa untuk tidak mengganggu dunia mereka. Hujan belum menyadari keberadaan Nesa. Dia terus bercerita
tentang suatu hal pada orang disampingnya. Seolah Nesa tidak ada.
Hujan...
Nesa memanggil namanya lirih. Hatinya terasa pedih.
Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah lebih jauh dan membiarkan mereka pergi.
Dunia mereka tidak akan pernah bisa Nesa gapai. Hanya dengan melihat Hujan yang
baik-baik saja, itu sudah cukup.
Hujan menoleh. Tapi Nesa sudah bersembunyi dibalik
tembok pertokoan. Dia tidak mau melihat Hujan lagi, untuk saat ini... dia ingin
sendiri.
Dan rindunya tumpah menjadi air mata.
Hal yang begitu
rapuh, dan hal yang fana, apakah mereka juga cinta?
Namun tak ada
bahagia di sana.
——
Akhirnya Nesa tahu alasan mengapa
jarak dan pembatas diantara mereka begitu jelas. Juga mengapa Hujan sulit
dihubungi akhir-akhir ini. Awalnya Nesa pikir Hujan sedang banyak masalah, jadi
butuh waktu untuk menyendiri. Tapi ternyata tidak.
Karena Nesa-lah penyebab dari setiap
masalah yang menghampiri Hujan. Hal itu membuat Hujan tersakiti dan sering
menangis. Nesa terpukul. Bagai disambar petir mengetahui alasan itu.
Ternyata... selama ini dia melukai orang yang teramat sangat disayanginya. Tak
pernah ia pikirkan sebelumnya bahwa dialah penyebab Hujan menangis. Seorang
Hujan yang dewasa dan anggun itu... menangis karenanya. Dialah yang bersalah.
Maka, untuk menebus kesalahannya
yang begitu besar dan tak termaafkan, Nesa membuat suatu keputusan yang bulat. Keputusan
yang akan mengubah dunianya, atau bahkan mengkhirinya. Ditepisnya keraguan yang
sempat mengganggunya.
Di hari yang mendung; langit tampak
tak bersahabat. Nesa berlari sekencang-kencangnya. Pergi dari dunia yang sempat
membuatnya bahagia. Pergi dari dunia yang menjemukan. Tetes-tetes air mata yang
mengalir tidak dia pedulikan. Hatinya sakit, begitu kecewa dan menyesal. Kecewa
pada dirinya sendiri. Kecewa pada dunia ini. Juga begitu menyesal karena dia
telah menyakiti orang yang paling disayanginya.
Tapi dia tidak akan bertanya kenapa.
Semuanya sudah jelas, bukan? Bahwa dialah yang bersalah. Dialah aktor jahatnya.
Dari awal memaksa, menerobos masuk ke dunia Hujan.
Sampailah Nesa di tepi jurang.
Sambil mengatur napasnya yang masih naik-turun, dia menatap dasar jurang itu.
Terlihat begitu dingin dan gelap. Dia jadi ragu.
Dia masih menyayanginya. Tapi takut
untuk mengakui. Jauh didalam hatinya, dia tidak ingin melepas bayang-bayangnya.
Rasanya ingin kembali mendengar kisah yang tidak akan pernah dia lupakan.
Kisahnya yang berputar, dari keputusasaan lalu bahagia, dan kembali lagi pada
lingkaran terakhir; keputusasaan, lagi.
Dia tidak bisa keluar dari mimpi
buruk itu. Bahkan dia tak bisa mengumpulkan keberanian untuk melupakan. Saat
memejamkan mata, dia melihat senyum seseorang di hari itu. Dan deru angin itu
membuatnya... menggigil beku.
Aku tidak akan
kembali lagi, sayang.
Walau kita hanya
bersama sesaat saja,
Aku bersyukur
karena ku menyayangimu...
Jika dia bisa, dia ingin berteriak
sekencang-kencangnya. Sampai suaranya habis. Atau melampiaskan seluruh luapan
emosinya pada benda lain sampai remuk dan hancur. Tapi dia tidak bisa. Semuanya
sudah terlambat. Segala hal sudah berada di tempat yang tidak semestinya.
Sambil berpikir begitu, bulir-bulir air mata membasahi pipi pucatnya.
Dalam hati, tak hentinya dia
menyerukan nama seseorang yang membuatnya jadi seperti ini. Sendiri dan kembali
dalam jurang keputusasaan. Tapi bukan Hujan yang bersalah. Kali ini adalah
salahnya sendiri. Dia sudah lancang untuk memaksa masuk ke dalam dunia Hujan.
Lalu akhirnya dia sendirilah yang terluka. Menyadari bahwa akhirnya akan
kembali kehancuran yang remuk redam hingga menembus tulang.
Hujan...
hujan... aku merindukanmu.
Nesa menangis sesenggukan. Air
matanya tak terbendung lagi saat mengingat kenangan mereka. Hujan yang begitu
baik, cantik, peduli padanya... dialah satu-satunya orang yang mendengar
jeritannya.
Tapi mengingat Hujan yang tersakiti
olehnya, Nesa merasa begitu kecewa pada dirinya sendiri. Lalu dengan Hujan yang
bersama orang lain, Nesa merasakan kepedihan. Mereka tertawa bersama, terlihat
bahagia dan berada di dunia yang berbeda.
Sedangkan Finnesa hanya sendiri.
Menatap mereka dari kejauhan. Dalam sepi dan rindu yang membelah kalbu.
Mungkinkah dia iri? Mungkinkah dia
cemburu?
Tidak, tidak boleh. Ini semua hanya
sandiwara. Sebagian dari kisah bohong yang diceritakan dunia yang semu. Di sana
orang berbahagia, di tempat lain orang tersakiti. Seperti kata seseorang, bahwa
derita adalah separuh dari keadilan, bukan?
Maka, lepaskanlah orang yang kamu
sayangi bahagia bersama orang lain, Nesa...
Nesa memandang langit yang tertutupi
mendung. Matahari tidak terlihat, tapi hujan tidak kunjung datang. Mungkinkah
Hujan sedang bersedih? Dimanakah dia berada sekarang? Nesa ingin bertemu dengannya....
tapi dia hanya mendoakan untuk kebahagiaannya saja.
Nesa menghapus jejak air mata yang
membekas di pipinya. Menghirup napas dalam-dalam, menghapus semua penat dalam
pikirannya, lalu berteriak sekencang-kencangnya.
“Hujan!! Finnesa bakal selalu sayang
kamu!! Gimana pun kamu sekarang atau nanti, dia tetap sayang kamu!! Entah
dimana dan dengan siapa kamu disana, berbahagialah, Hujan!!!”
Aku
hanya akan selalu mengingatmu. Menyayangimu. Juga merindukanmu.
Belum selesai luapan emosinya,
keseimbangan Nesa goyah. Tanah yang dipijaknya runtuh perlahan. Tapi karena dia
berada di ujung, dia terlambat untuk menghindar. Dan semuanya tidak terjadi
tepat pada waktunya.
Sekali lagi, Nesa terseret ke dalam
jurang itu.
——
Matanya mengerjap. Dia tersadar dari
lamunannya. Yang barusan itu cuma mimpi. Begitu seharusnya, karena kini dia
berada di toilet, berdiri tepat di depan wastafel dan cermin besar. Untuk
meyakinkannya, dia layangkan sekali-dua kali tamparan pada pipinya. Sakit.
Berarti benar, itu tadi hanya mimpi yang terus membuatnya terngiang kembali
karena takut. Mimpi buruknya semalam.
“Nesa, sarapan sudah siap!
Bergegaslah atau warga Bina Nusa bakal membunuhmu. Aku nggak mau kalau sampai
adegan itu terjadi di sini.”
Nesa terkikik geli. Dia segera
berjalan ke meja makan setelah mengeringkan mukanya. Seraya duduk di kursi
makan, dia melirik gerak-gerik wanita cantik yang terlihat sibuk membereskan
peralatan memasaknya. Hujan, nama
wanita itu. Dia tinggal di apartemen kecil itu bersama Nesa sejak Nesa
‘dipungut’ olehnya. Yang dimaksud warga Bina Nusa olehnya adalah anak-anak
panti asuhan yang dikelolanya. Anak-anak itu begitu dekat dan akrab dengan
Nesa. Nesa pun tidak keberatan untuk mengabdikan dirinya pada Bina Nusa,
baginya itu adalah pembalasan budi baik Hujan terhadapnya.
“Kalau itu terjadi, sebelum hujan
mengamuk, aku bakal berlindung dibawah payung hitam hehehe...”
“Nesa... awas kamu!” Hujan mendekati
Nesa sambil mengacungkan penggorengan yang dia bawa.
Nesa bersiap untuk berlari. “Ampun,
Dewi Hujan! Ampuuunnnn~!!”
Dibalik itu semua, dari suatu
tempat, mereka tidak tahu kalau ada sepasang mata picik yang memperhatikan
gerak-gerik mereka.
——
0 komentar:
Posting Komentar