Genre : guess it, imagine it, feel it.
Review chapter sebelumnya :
Jinki yang kalut memeluk Key tanpa sadar. Key
menenangkannya, tapi hyun joong datang di saat yang tidak tepat. Mereka jadi
kikuk. Hyun joong memberitahukan kalau Taemin pergi disaat ramalan badai salju
akan terjadi. Mereka berencana untuk mencari Taemin sebelum badai terjadi.
(note : Taemin bertunangan dengan Jinki, padahal mereka tidak saling mencintai.
Taemin mencintai Minho yang sedang koma)
——
Endless tears 4
——
Taemin’s POV
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kulakukan. Hanya
mengikuti kemana langkah kakiku pergi. Dan akhirnya berhenti di sini, saat aku
kembali pada kesadaranku. Di tepi jembatan sungai yang permukannya membeku.
Sampai saat ini, yang kupikirkan hanyalah kekesalan yang teramat sangat pada
seseorang bernama Lee Jinki.
Ugh, mengingat namanya saja sudah membuatku kembali
emosi. Aku tidak mau memikirkan orang munafik itu. Dia telah sengaja
menginjak-injak dan mengejek kenanganku bersama Minho.
Atau itu hanya perasaanku saja.
Eh? Apa yang barusan kukatakan? Tidak mungkin. Ini
semua salahnya!
Ponselku bergetar. Kuambil benda itu dari saku
jaketku, dan segera kulihat siapa yang meneleponku. Layar ponsel itu
menampilkan sederet angka yang tak asing bagiku. Itu nomor Jinki. Kesal,
kubuang ponsel itu begitu saja pada sungai.
“Lee Jinki! Aku membencimuu!! Kuharap kamu pergi jauh
dari hidupku dan tidak menggangguku lagiii!!!” teriakku sekencang-kencangnya.
Tidak peduli pada keadaan sekitar yang hanya sedikit orang berlalu-lalang.
Sekilas mereka menoleh padaku. Aku masa bodoh saja.
Kulempar pandanganku pada langit di atas. Tidak ada
matahari di sana. cuaca sedang tidak bersahabat, sepertinya. Awan mendung
menyelimuti kota ini. Cuaca terasa begitu dingin dan beku. Andai dia ada di
sini... disampingku.
Minho.
Jika dia ada, aku tidak berharap dia akan menyentuhku
atau memelukku untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk tulang ini. Tidak.
Minho punya caranya sendiri untuk melakukannya. Dia selalu bisa membuatku
merasa bahagia dengan caranya sendiri.
“Minho...”
Aku sungguh berdoa agar bisa bersama di hari esok yang
belum terlihat. Sampai hari itu datang, aku tidak akan meninggalkannya. Aku
tidak akan melepaskannya. Tidak akan.
Senyumku terulas membayangkan hari esok yang indah.
Ketika Minho terbangun dari komanya, aku pasti akan menjadi orang pertama
yang berada di sisinya. Ya, suatu saat...
Apakah harapan itu terlalu muluk? Malam nanti adalah
malam natal. Aku ingin sekali Minho bangun dan kami bisa menghabiskan malam
natal bersama dengan bahagia. Mengingat kenyataan yang ada, hatiku teriris.
“Minho...”
Hanya dengan memikirkan kamu, air mata
ini terus berlinang.
Diriku yang sendirian di fajar yang
terhenti
Dan tak dapat melihat dirimu...
“Taemin?”
Mataku mengerjap. Suara itu menyadarkanku dari
lamunan. Aku menoleh. Jonghyun menyambutku dengan senyum hangatnya.
——
“Sedang apa kamu, kenapa keluar sendirian di tengah
badai salju?” Jonghyun memberikan padaku segelas cokelat panas, asapnya yang
mengepul ditengah udara dingin begitu menggodaku. Tanpa menunggu lama,
kuseruput cokelat itu sampai habis tak bersisa. Baru kusadari sedari tadi
tubuhku menggigil.
“Kamu tahu, semuanya khawatir dan mencarimu
kemana-mana?” tanya Jonghyun sambil menyelimutiku dengan selimut berbulu tebal
yang hangat. Sku
menggeleng. Bahkan perapian hangat yang berada di
tengah ruangan tidak mampu menghentikan gigilku.
Dan aku sadar, Jonghyun tidak menyinggung Jinki dalam
pertanyaannya barusan, melainkan menggunakan kata 'semuanya'. Dia memang
mengerti bagaimana memperlakukanku dengan baik. Dia teman yang membuatku
nyaman...
Ah, mengatakannya membuatku teringat pada penolakanku
setahun yang lalu padanya. Aku merasa bersalah.
“...Taemin?”
“Eh? A—apa?” tanyaku gugup, malu karena Jonghyun
menangkap basah pandanganku yang masih memperhatikannya. Ia tersenyum simpul,
meletakkan ponselnya di saku jaketnya.
“Kenapa? Terpesona padaku?” ia terkekeh, membuatku
makin salah tingkah.
“Untuk sementara ini, kamu tinggal disini dulu saja
hingga badai reda. Keadaan tidak memungkinkan untuk bepergian. Tenang saja, aku
sudah mengabari semuanya kalau kamu aman. Oh ya, kenapa ponselmu tidak bisa
dihubungi?” cerocos Jonghyun panjang lebar. Aku cuma sanggup memahami kalimat
terakhirnya, sebab masih terfokus pada rasa dingin yang tak kunjung reda.
“Terakhir kuingat aku sudah membuangnya ke sungai.”
kataku singkat, tak bermaksud untuk menjelaskan alasannya.
“Baiklah, aku mengerti.” Jonghyun bangkit, dan sebelum
pergi, ia berpesan agar aku segera berendam air hangat supaya tidak sakit.
Aku tak menjawab. Hanya mengalihkan pandang pada
jendela kaca yang tertutupi tumpukan salju. Sepintas benakku dihinggapi sebuah
pertanyaan,
Terhadap kisah tentangku, Jinki, dan Minho..
Apa yang harus kulakukan selanjutnya?
Sementara aku berpikir, waktu tak pernah berhenti
berjalan.
——
Author’s POV
Jinki sampai di pinggiran sungai. Di sinilah letak
ponsel Taemin yang terdeteksi melalui GPS. Tapi ia belum melihat Taemin sama sekali. Tidak
mungkin GPS nya tidak berfungsi dengan baik kan?
Pandangannya menelusuri sekitar. Tapi sulit untuk
melihat sebab angin bertiup kencang disertai salju menghalangi jarak pandang.
Bahkan untuk berdiri saja terasa sulit. Angin terus bertiup membuat syal juga
jaketnya berkibar.
“Taemin...” panggil Jinki. Namun tak ada jawaban. Ia
mencoba meyakinkan dirinya kalau Taemin berada di sana. Sekali lagi ia mnyeret
langkahnya yang terasa berat untuk menelusuri pinggiran sungai.
“Taemin-ah.” sekali lagi ia memanggil nama itu. Nihil.
Tak ada tanda-tanda kehadiran Taemin.
“...Lee Taemin! Jawab aku! Dimana kamu?!” teriaknya
frustasi. Wajah pucatnya jadi kemerahan, terlihat gurat emosi di sana. Udara
hangat mengepul di atmosfer dari nafasnya yang turun-naik.
Ke mana sih perginya anak itu? Kenapa dia selalu
mempermainkan perasaan Jinki? Lucu sekali mengingat perlakuan Taemin padanya
selama ini, dan sekarang ia mencari-cari Taemin tanpa memedulikan hal lain
lagi. Padahal beberapa saat yang lalu mereka bertengkar.
Bodoh, Jinki memang bodoh. Ia terikat dengan Taemin
tanpa perasaan yang pasti. Awalnya ia pikir Taemin bisa menerimanya. Tapi
sekarang ini ia sadar. Mungkin ia memang tak termaafkan. Dari semua yang Taemin
katakan tadi, Jinki sadar dosanya telah begitu besar. Dan ia telah begitu
munafik, menyangka kalau Taeminlah yang terus menyakitinya.
Taemin...
Lihatlah Jinki berdiri di sini, sendiri di tengah
cuaca yang kian memburuk. Dia ingin bertemu denganmu dan meminta maaf. Ia
hampir mati beku! Dingin yang menusuk tulangnya sudah tak berasa lagi. Tapi, ia
bertekad untuk tidak kembali sebelum menemukanmu, atau setidaknya mengetahui
kalau kamu baik-baik saja.
Sebentar lagi. Hanya sebentar lagi saja.
Aku pasti akan menemukannya.
Jinki berusaha menguatkan diri untuk terus mencari
Taemin, meski tubuhnya sudah menolak untuk dihujami dingin lebih lama lagi.
Mantel tebal yang ia pakai tak mampu menghalau dingin yang luar biasa seperti
itu.
Jinki mengambil ponselnya. Baru ia sadar ada satu
panggilan masuk dari Hyun Joong yang terpampang di layar ponselnya.
“Jinki, kamu di mana? Cepat kembali sekarang! Jangan
melakukan hal bodoh! Arasso? Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus cepat
kembali!” terdengar suara cemas Hyun Joong di ujung sana.
“...Apa? Kembali? Jangan bercanda. Aku tidak bisa,
Joong. Tidak sebelum aku—”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, keseimbangan
Jinki hilang. Yang terakhir kali ia tahu, ia tergelincir dan jatuh. Setelahnya,
ia tak merasakan apa-apa lagi. Matanya terpejam.
“Halo? Jinki... kamu dengar aku? Halo? Hey bodoh,
jawab aku!! Cih, dasar keras kepala!” maki Hyun Joong kesal. “Taemin sudah
aman, pabo! Cepat kembali karena aku tak mau kamu mati beku!”
——
Sementara itu, di sisi lain cerita
ini...
Dia melihat semuanya. Segala hal yang membuat hatinya
tersayat pedih. Dan yang paling menyedihkan adalah saat dia tak bisa berbuat
apa pun.
Bukannya dia tak mau, tapi memang bukan keinginannya
untuk terjebak dalam situasi ini. Semuanya terjadi begitu saja. Meski ia tahu,
semuanya terjadi bukan tanpa alasan.
Dia terjebak di situasi dimana ia tak bisa menyentuh,
menangis, ataupun bersuara. Yang bisa ia lakukan hanyalah melihat. Melihat
segala sesuatu yang membuatnya sakit.
——
Di siang itu, dimana salju mulai turun dengan derasnya,
ia berada di kamar. Hanya diam saja melihat yeoja disampingnya tengah menulis,
sambil sesekali titik air matanya jatuh membasahi surat yang ia tulis. Ingin
sekali rasanya ia mengusap air mata itu, tapi tak bisa.
Kemudian yeoja itu terlibat pertengkaran dengan namja
lainnya. Ingin ia menghentikan perdebatan itu, bahkan saat ia berdiri di antara
mereka, kehadirannya tak dihiraukan. Hingga akhirnya yeoja itu berlari pergi.
Karena ia tak berguna. Tak bisa mencegah kepergian yeoja itu, atau menarik
lengannya agar tetap tinggal.
Jadi, pilihan satu-satunya adalah mengikuti yeoja itu.
Ia terus mengikuti kemana yeoja itu pergi. Hingga
akhirnya berhenti di pucuk jembatan sungai. Beberapa lamanya dia terdiam,
tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lalu tiba-tiba ia melempar ponselnya dengan
kesal. Dan yang paling membuat kaget, yeoja itu berteriak keras sekali.
“Lee Jinki! Aku membencimuu!! Kuharap kamu pergi jauh
dari hidupku... dan tidak menggangguku lagiii!!!”
Ia terkekeh. Lucu melihat yeoja itu begitu kesal dengan
wajahnya yang memerah. Terlihat begitu manis dan imut. Sesaat kemudian
pandangan yeoja itu terarah pada langit.
Ia pun melihat hal yang sama. Ingin dia mengetahui apa
yang tengah yeoja itu pikirkan.
“Minho..”
Yeoja itu memanggil namanya. Seolah tak menyadari
keberadaannya yang begitu dekat.
Ya, Taemin?
Jawabnya, namun ia tahu suaranya tak akan pernah
sampai.
Sekali lagi, dengan suara yang tercekat, yeoja itu
memanggilnya. Dia terlihat menahan tangis.
Hatinya terasa pedih.
Tak perlu mencariku. Aku di sini. Aku di
sini. Aku mendengarmu.
Tapi yeoja itu, Taemin, sama sekali tak menyadari
keberadaannya.
Ia melihat bulir-bulir air mata yeoja manis itu, air
mata Taemin. Untuk yang ke sekian kalinya, lagi-lagi dia menangis, entah karena
sedih oleh kenyataan, atau karena rindu. Ia tak bisa mengartikan air mata yang
ambigu.
Jangan menangis, Taemin...
Satu hal yang disesalinya. Ia tak bisa merengkuh
Taemin, menghentikan tangisnya dan membuatnya tersenyum lagi. Seperti dulu.
Percuma saja, tak ada yang bisa dilakukannya saat ini.
Aku ingin bertemu denganmu. Kuingin
menyentuhmu.
Karena mencintaimu, begitu sakit...
Maka, dengan keinginan yang sangat kuat, dan sudah
lama dipendamnya,
Ia ingin pulang agar bisa kembali ke sisi Taemin.
——
Perlahan, kelopak matanya terbuka. Ia merasa asing
dengan tempat itu. Itu bukan kamarnya. Dimana ia?
Ah. Dia ingat. Ini di rumah sakit. Tempatnya berada
selama ini.
“..Minho?”
Seorang namja berambut pirang mendekatinya. Ia
terlihat kaget, sekaligus senang. Minho berusaha keras mengingat siapakah dia.
Rasanya tidak begitu asing.
“Ada apa, oppa?” tanya seorang yeoja manis pada namja
itu, lalu saat pandangannya beralih pada Minho. Sama seperti namja yang
dipanggilnya ‘oppa’ ia terlihat kaget juga. “Omo! Minho! Kamu sudah sadar?”
Namja itu beranjak pergi. “Aku akan panggil dokter.”
katanya. “Lalu, jangan mencariku jika aku tidak kembali.”
Yeoja manis itu mengangguk dengan perasaan bingung,
merasa bersalah. Mungkinkah namja itu marah karena beberapa waktu sebelumnya ia
berpelukan dengan namja lain? Dan kembali pandangannya terarah pada Minho.
Kedua tangannya meraih tangan Minho dengan lembut, lalu diusapnya.
“Kami sangat mencemaskanmu, juga merindukanmu.
Syukurlah kamu sadar... banyak hal yang terjadi... Tapi...” yeoja itu
menggantung kalimatnya. Saat pandangannya kembali pada Minho, ia tersenyum.
“Pokoknya, sekarang kamu istirahatlah dulu. Aku akan mengabari yang lain.”
Lalu saat yeoja itu sibuk dengan ponselnya, Minho
dengan susah payah bersuara.
“Siapa?”
Hampir saja ponselnya terjatuh. Ia memandang Minho,
nafasnya tertahan.
——
Mendengar kabar Minho yang sudah sadar, Taemin tidak
bisa menahan dirinya untuk segera menemui Minho di Rumah Sakit. Batinnya
bergejolak. Minho sudah sadar, katanya berulang kali dalam pikirannya. Tapi ada
satu sesal, kenapa bukan dia yang berada di sisi Minho, yang akan menjadi orang
yang pertama kali Minho lihat saat tersadar?
Tapi... sudahlah tak apa. Itu tidak begitu
penting—meski penting juga baginya. Yang penting Minho telah sadar! Ia teringat
tadi saat Key menelepon Jonghyun,
“Oppa... Minho.... Dia... sudah sadar.” Jeda. “Tapi...
aku... aku tidak.... dia...”
“Ada apa, Key? Bicara pelan-pelan saja. Tenangkan
dirimu, dan bicaralah dengan lebih jelas.” Kata Jonghyun.
Tanpa berpikir dua kali, Taemin menyambar jaketnya.
Lalu sepatu boots nya ia pakai.
“Taemin-ah... kamu mau kemana?”
“Oppa, gomawo buat semuanya. Aku sudah lebih baik
sekarang. Tapi aku harus pergi.”
“Taemin, tunggu! Hey... Taemin! Key, sudah dulu ya.
Aku tidak mau Taemin kembali tersesat.”
Klik!
Jonghyun mengakhiri hubungannya lalu segera
berlari menyusul Taemin.
——
Pintu kamar itu terbuka dengan suara yang cukup keras.
Taemin dan Jonghyun masuk ke dalam. Mereka terengah-engah. Tanpa menunggu
apa-apa lagi, Taemin berjalan mendekati ranjang pasien.
“Minho?!” panggilnya tidak percaya. Minho terduduk di
ranjangnya. Dia menatap taemin. Dahinya berkerut seolah bertanya-tanya,
siapakah makhluk aneh yang datang dengan terengah dan langsung memanggil
namanya itu?
Minho mengerjap bingung. “Kamu... siapa?”
Key menahan napasnya. Saraf-sarafnya menegang. Begitu
juga dengan Jonghyun.
“Kamu dengar, Taemin? Mungkinkah dia...”
Sejenak Taemin terlihat kaget, tapi dia bisa segera
menguasai dirinya. Dia mendekatkan wajahnya dengan wajah Minho, hingga jarak
mereka hanya sekitar dua senti. Lalu kedua tangannya memegang dengan lembut
pipi Minho. Tangan Taemin terasa begitu dingin di kulit Minho yang hangat.
Tuk!
Dahi mereka bersentuhan. Mata keduanya bertemu
pandang.
“Aku tidak akan tertipu dengan leluconmu itu, Minho.”
Taemin tersenyum menang. Dia berhasil membuat wajah Minho seperti kepiting
rebus. Memerah dan hangat.
Taemin menarik tubuhnya untuk kembali berdiri, lalu
menatap Key dengan senyum kemenangannya. “Aku menang. Tipuan kalian kuno
sekali.”
Key tertawa, lalu menghambur untuk memeluk Taemin.
“Taemin! Kamu kembali! Kemana saja kamu? Kami semua
mencemaskanmu, tahu!” katanya senang.
Jonghyun duduk di kursi samping ranjang, dia
berbincang dengan Minho yang dijawab dengan patah-patah oleh Minho.
“Jadi, bagaimana keadaan Minho kata dokter?” tanya
Taemin pelan setelah menggiring Key ke dekat jendela, untuk menghindari
Jonghyun dan Minho dari perbincangan mereka.
“Seperti yang kamu lihat,” jawab Key. “Dia baik. Tapi
saraf-sarafnya masih kaku karena sudah lama tidak digerakkan. Jadi mungkin
butuh beberapa lama untuk pemanasan dulu, dia belum bisa kemana pun dengan
bebas. Masih harus dalam pengawasan dokter. Ada apa? Kamu mau mengajaknya kencan, ya?” tanyanya dengan nada menyelidik.
“Eh... nggak... bukan itu, kok.” Mata Key menyipit
untuk memastikan kebenaran kalimat Taemin. “Hm... aku... sebenarnya memang
mengharapkan malam natal yang tak terlupakan. Itu wajar, kan?” lalu Taemin
tertawa sendiri. “tapi aku tahu aku nggak boleh egois. Lagipula, kalau Minho
masih harus beristirahat, aku akan menemaninya. Itu juga sama indahnya dengan
natal yang lain.”
Key jadi senyum-senyum sendiri. “Kamu beruntung. Aku
jadi iri. Aku bahkan tidak bisa berharap merayakan natal bersama orang yang
kusukai.” Lalu ia menghela napas, “huh... andai saja aku dan hyun—“ ups! Key
buru-buru menutup mulutnya. Hampir saja rahasianya bocor.
“Hyun? Siapa? Hyun Joong-Oppa? Jonghyun? Jo Hyun Jae?
Lee Donghyun? Hmm... tidak mungkin.” Tanya Taemin bertubi-tubi. Kali ini dia
yang menyelidiki Key sampai merasa terpojok. “Jadi? Siapa itu Hyun mu?”
“Ng... itu...” key mencoba untuk mencari alasan atau
topik lain. Tapi otaknya terasa buntu untuk berpikir. Taemin terus menatapnya
dengan mata bundar yang jernih itu. “Bukan siapa-siapa, kok. Dia Cuma teman.
Kami tidak punya hubungan istimewa.”
Taemin mengatupkan mulutnya. “Cinta bertepuk sebelah
tangan?” lalu dia menepuk-nepuk bahu Key dengan akrabnya. “Tenang saja. Aku
pasti akan membantumu, Key! Fightingg~!” katanya antusias.
Key cuma bisa tertawa hambar.
——
Malam yang dingin. Langit tak bertabur bintang, hanya
berupa hamparan hitam gelap yang tak ada batas. Cuaca yang ekstrim sudah
berakhir tadi sore. Badai salju telah reda menyisakan dingin yang hangat di
malam natal. Orang-orang bersemangat menyambut malam ini. Lampu-lampu jalanan
dan aksesori serta hiasan-hiasan natal yang dipajang di sana-sini ikut
menyemarakkan perayaan natal. Badut santa klaus menyambut pejalan kaki dan
anak-anak kecil. Semua bersukacita.
Namun, lain halnya dengan hyun joong. Dia hanya
merayakan malam yang sepi itu sendiri—sebenarnya dengan Jinki yang tidur—di
apartemen sederhananya itu. Ya, sepi. Hanya ada pohon natal kecil di atas meja
ruang tamu. Tidak meriah. Itu bukan kesukaannya. Dia tidak berniat untuk
menyalakan TV atau speaker untuk membunuh sepinya. Tidak. Lebih baik dia yang
menggitar sendiri. Tapi pilihan itu juga tidak dilakukannya.
Jadi, dia hanya diam sambil membaca buku di sofa
berwarna coklat gelap itu. Sejenak pikirannya tidak berhenti memikirkan Jinki,
sahabatnya yang tertidur pulas di kamar. Ia teringat tadi saat dia menemukan
Jinki tertimbun salju. Tubuhnya beku, dingin sekali dan kulitnya membiru.
Saking cemasnya, Hyun Joong langsung membawa Jinki ke apartemennya—yang
kebetulan tidak jauh dari sungai tempat dia menemukan Jinki.
Sahabatnya itu memang terlalu bodoh. Padahal jika
dalam pelajaran sekolah, dia genius yang tak terkalahkan di sekolah. Tapi jika
soal cinta, dia sama sekali tidak ada banding bodohnya.
Hyun joong menyesap kopinya yang masih panas.
Meletakkan buku yang ia baca ke meja. Tidak fokus untuk membacanya sekarang.
Dia bermaksud untuk menjenguk Minho, serta jika bisa, sekaligus bertemu Key.
Tapi dia tidak ingin menceritakan soal Jinki pada mereka. Tidak perlu.
Segera dia mengambil mantelnya yang berbulu tebal,
lalu bergegas pergi.
——
Taemin tidak bisa berhenti tersenyum. Dia senang
sekali bisa bersama Minho di hari yang spesial seperti ini. Ini adalah
kesempatan yang selalu
dinantikannya. Yah, meski Cuma dengan cara sederhana,
melihat langit yang gelap di atap gedung Rumah Sakit. Tentu saja Minho dilarang
oleh dokter untuk terkena angin dingin, atau berjalan menaiki tangga. Tapi
Minho bersikeras untuk melakukannya. Dia sama keras kepalanya seperti Taemin.
“Minho...”
“Hmm?”
“Gomawo, sudah kembali...” kata Taemin kalem, dia
tersenyum manis.
“Mwo? Aku nggak dengar.” Goda Minho.
“Kalau kamu nggak kembali, aku nggak tahu akan
menghadapi hari yang seperti apa.” Sambung Taemin tak mempedulikan omongan
Minho.
“Tapi... kamu tahu? Banyak hal yang terjadi saat
kamu tidur. Hal yang luar biasa.” Taemin menghentikan kalimatnya. Tidak ingin
berkata kalau hal itu bisa mengubah takdir mereka nantinya.
Minho terdiam. Membiarkan Taemin meneruskan ceritanya.
Dia memandangi wajah Taemin lekat-lekat. Sudah lama sekali rasanya tidak
melihat wajah itu secara langsung. Sekarang... rasanya sudah berbeda. Ada yang
berbeda dari Lee Taemin.
“Aku... aku... sebenarnya, Minho...”
Dia menelan ludah. Dia tahu. Pasti Taemin ingin bilang
kalau dia sudah bertunangan dengan Jinki. Sedikit ada penyesalan dalam dada
Minho. Tapi ia tepis rasa itu. Demi kebaikan Taemin, dia harus merelakannya.
Itu pilihan satu-satunya saat ini. Toh, sebelum cerita mereka berakhir, Taemin
sudah memiliki seseorang yang bisa Minho percayai untuk menjaganya.
“Kamu mau menembakku?”
Keseriusan Taemin buyar seketika. Matanya mengerjap.
Minho dengan polosnya bertanya seperti itu dengan wajah tak berdosa.
“Eh? Aku—menembakmu?” taemin mencoba mencerna kalimat
itu. “—yang benar saja! Jangan terlalu percaya diri dong, dasar kodok jelek!”
Minho tertawa. Dia masih bisa melihat Taemin yang
dulu. Setidaknya... hadiah sebelum semuanya berakhir.
“Taemin.” Panggil Minho kalem, tapi pasti.
“Bagaimanapun keadaan hari esok, jangan menyesal dan jangan menyerah. Mungkin
hal yang kamu inginkan tidak tercapai, tapi orang-orang disekitarmu akan terus
mendukungmu. Jangan ragu dengan semua yang tidak sesuai keinginanmu. Karena...
dunia itu tetap sama. Kamu harus menggenggam erat mimpimu dan berlari untuk
meraihnya.”
Taemin menatap minho dengan bingung. Dia sama sekali
tidak bisa mencerna apa yang Minho katakan. Tanda tanya besar sudah tergambar
dipikirannya.
“Kamu ngomong apa sih? Langsung ke intinya saja deh.
Aku sama sekali nggak ngerti.” Kata Taemin polos.
“Aku mau bilang kalau...” Minho menggantung
kalimatnya. Dia menatap Taemin yang balik menatap ke arahnya. Mata mereka
saling bertemu pandang dalam jarak yang dekat.
“Duniamu belum berakhir.” Dan Minho menyandarkan
kepalanya di bahu Taemin. Napasnya mulai teratur dan halus.
“Maksudmu?”
Minho tidak menjawab. Taemin menahan napasnya. Dia
mengarahkan tangannya pada hidung Minho. Masih bernapas.
“Tidur yang nyenyak, Minho... aishiteru.”
———
Endless Tears 4—END.
0 komentar:
Posting Komentar