Title : Kkeojyeo
Julge Jal Sara (I’ll go off so you can life better)
Author : Viriza
Rara
Genre : Sad,
Romance, Angst
A/N : Judul sama
isi jauuh berbeda. Hohoho~
—
Taemin’s PoV
“Taemin...”
Aduh, mengganggu
saja. Siapa sih? Aku masih ingin tidur...
“Taeminnie...
bangun sayang...”
“Mmm... ne...”
aku bergumam dengan mata yang masih terpejam.
“Ini sudah
siang, yeobo...”
Eh, memangnya
aku sudah menikah, ya?
Hmm, menikah...
.
Me-ni-kah..?
...APA?!
Seketika aku
terbangun dengan mata yang terbelalak padanya. Menyadari sesuatu yang aneh pada
kalimat yang diucapkannya padaku.
Dia tertawa
melihatku yang langsung bangun dengan cepat. Huh. Ternyata dia hanya
mengerjaiku.
“Hyung... dasar
jahil kau ini,” aku menghela nafas dan mempoutkan bibirku. Untung saja dugaanku
salah kalau aku sudah... ehm... menikah. Sangat tidak mungkin bila aku dinikahi
saat aku sedang tidur. Haah... taemin, kau ini melantur sekali.
Taesun hyung,
namja berperawakan tinggi yang sedang mengancingkan jas kantornya itu adalah
kakakku. Dia sering iseng mengerjaiku karena menurutnya aku sangat lucu.
Padahal aku sudah lulus kuliah dan baru saja akan bekerja. Aku juga sudah mulai
menghilangkan sikapku yang kekanak-kanakkan. Membuat tindik di telinga dan
sering bersikap macho. Apanya yang lucu coba?
“Sudah
kusediakan banana milk plus daging panggang di meja makan. Sana, mandi lalu
sarapan.” Titahnya sambil masih terus bercermin diri. Aku beringsut menuruni
bed, kemudian berjalan dengan langkah malas ke arahnya.
Ia melirikku
melalui cermin. “Kamar mandinya sebelah sana, Taemin. Kamu ngelindur yah?”
tanyanya dengan menaikkan sebelah alis tebalnya.
Mengabaikannya,
aku malah mengambil dasi bergaris-garis yang berada di meja rias, lalu memakaikannya pada kerah
kemejanya dengan gerakan... ehm, seperti seorang wanita yang sedang memakaikan
dasinya pada suaminya. Aku berniat untuk membuat hyung-ku sadar bahwa aku
bukanlah anak kecil lagi.
Ia memandangku
heran. Aku menalikan dasi itu dengan begitu rapi, lalu menatapnya dengan
tatapan lembut dan manja. Dengan seperti ini, aku yakin ia akan menganggapku
sudah dewasa.
“Aku bantu
memakaikannya, hyung” aku mengerling padanya seraya tersenyum.
“Taemin..” ia
menahan nafas.
“Ya?”
“Aku tahu kau
bukan lagi anak kecil,”
Aha! Taktikku
berhasil! Yeah!
Taesun-hyung
berdeham, “Tapi sepertinya kau semakin larut dalam permainan ‘rumah-rumahan’
kita, ya?”
Aku melongo.
“Eum, maksudku,
kau tampak lebih seperti wanita pagi ini.”
Ya. Aku tahu
itu. Memang itu maksudku menunjukkan sikap barusan.
“Kau tidak
marah?” Taesun-hyung menatapku aneh dan itu menghentikan kegiatanku yang sedang
mengedip-ngedipkan mataku.
“Untuk apa?”
tanyaku bingung.
“Eum, kau
terlihat cantik meski baru bangun tidur.”
Idiih... mencoba
merayuku, ya?
“Sebenarnya,”
Taesun-hyung mengecup keningku sekilas, mengambil koper dan beranjak ke ambang
pintu. Eh? Kok meninggalkanku begitu saja sih hyung?
“Arti dari
kalimatku tadi adalah, kau menghilangkan kesan manly pada dirimu sendiri.”
Dan setelah
menyelesaikan kalimatnya, ia langsung pergi keluar apartemen. Meninggalkanku
yang masih melongo dengan wajah yang terasa panas.
Huwaaa, ternyata
caraku salah! Aku malah menghancurkan harga diriku sebagai seorang pria di
hadapan kakakku sendiri! Dasar Taemin bodoh!!
——
“Haah...”
Aku berjalan
sambil sesekali menendang batu kerikil yang ada, berharap bisa menghilangkan
rasa maluku yang terus hinggap sejak kejadian pagi tadi di kamar. Terus
merutuki kebodohanku yang begitu lalai menjaga harga diriku.
Aku tidak yakin
mampu bertatap muka dengannya nanti. Geez... apa yang harus aku lakukan
sekarang?
“Hei, Taemin!”
Aku menghentikan
langkahku dan segera menoleh. Kanan, tidak ada. Kiri, tidak ada. Belakang, juga
tidak ada. Siapa?
“Sini, sini!”
panggil suara itu lagi. Aku memicingkan mataku, dan mendapati seseorang yang
sangat kukenal sedang melambai ke arahku dari kebun di halaman rumahnya. Segera
aku berjalan mendekatinya.
“Pagi, Kibum
hyung... ada apa?” sapaku pada namja bermata tajam—hampir seperti kucing yang
tersenyum sumringah melihatku.
“Pagi,
Taeminnie...” balasnya.
Aku menumpu
kedua tanganku pada pagar dinding pembatas rumahnya yang pendek.
Memerhatikannya yang sedang mengelap keringat menggunakan lengannya. Ia tampak
lusuh dengan pakaian berkebun yang sudah ternoda, topi khas yang ditalikan
sampai dagunya, juga sapu besar yang digenggamnya.
“Asistenku belum
datang, dan aku sudah tidak tahan untuk segera membereskan kebun. Tapi ternyata
tidak semudah yang kubayangkan. Kau sedang tidak sibuk, kan? Bisa membantuku
tidak?”
“Oh, tentu.”
jawabku sambil tersenyum. Ia balas tersenyumlalu segera membuka pagar
putih—tidak lagi pink seperti biasanya—rumahnya, dan mempersilahkanku untuk
masuk.
Aku menurutinya
dan mulai melangkahkan kakiku memasuki halaman rumahnya.
“Jadi, apa yang
bisa kubantu?” tanyaku begitu telah sampai di kebunnya yang tampak berantakan.
“Hmm, bisakah
kau memindahkan pot-pot keramik itu ke sepanjang jalan menuju pintu rumahku,
Taem? Akan terlihat lebih bagus bila disusun seperti itu.”
Aku mengangguk,
lalu beralih menatap pot-pot keramik yang dimaksudnya. Satu, dua, tiga....
sepuluh pot keramik yang cukup besar. Apa aku bisa mengandalkan tenaga
manly-ku, ya?
—
“Hyung,
sebaiknya kau mengganti pakaianmu, deh..” aku berkata sambil terus memerhatikan
kibum hyung yang sedang membuat teh jepang di dapur.
“Ya. Kau terlihat
buruk sekali, Oppa” timpal Hye Ra yang sedang duduk di sampingku di atas tatami.
Kibum hyung selesai
membuat tehnya dan menghampiri kami dengan tiga gelas teh di atas nampan yang
dibawanya. Menaruh teh tersebut di atas meja, lalu duduk dengan gaya seperti
orang jepang.
“Hohoho... meski
aku seperti ini, tetap saja jonghyun-hyung mencintaiku...” katanya disertai
senyuman licik khas seorang diva—atau kucing?
“Hoo...” aku
mengangguk, kemudian meneguk teh hangat itu. “Hubungan kalian masih langgeng
sampai sekarang, ya, hyung?”
“Tentu saja,
ohohoho...” kibum hyung mengambil segelas teh dan meneguknya perlahan, lalu
kembali menatapku dan Hye Ra bergantian. “Buktinya setiap hari dia mengirimkan
bunga untukku. Iya, kan, Hye Ra?”
Hye Ra
mengangguk dengan ragu.
“Ada apa, Hye
Ra?” aku menatapnya khawatir. Tidak ada jawaban. Aku beralih menatap kibum
hyung, tapi ia malah tersenyum tidak jelas dengan pandangan menerawang.
Aku jadi agak
merinding untuk sekadar duduk di sini. Kurasa suasananya jadi semakin
menyeramkan. Aura anehnya sangat terasa.
TING TONG!
Gerakanku
terhenti dan aku langsung beranjak untuk membuka pintu. Meski aku bukan pemilik
rumah ini, tapi, yah, kau tahu lah.. pemilik rumahnya sedang—
“Biarkan aku
yang membukanya, Taemin.”
Kibum hyung
menghalangiku dengan senyum aneh yang masih tergambar di wajahnya, lalu membuka
pintu. Aku memutuskan untuk kembali duduk di tatami. Kulirik Hye Ra yang masih
diam di sampingku. Semburat merah di wajahnya terlihat semakin jelas.
Beberapa saat
kemudian kibum hyung datang menghampiri kami. Ditangannya ada sebuket bunga.
“Hyung... itu—“
“Yup! Ini dari
my lovely dino.” Ia mencium harum bunga itu.
Oke. Kurasa aku
sedikit iri dengannya. Mengingat kalau cinta kibum hyung berbalas, dan mereka
hidup bahagia. Sedangkan aku? Berbeda jauh.
“Kau malu untuk
menemuinya, heum?” suara Kibum hyung menyadarkanku dari lamunan.
“Eh? Apa maksud
hyung?”
“Aku berbicara
dengan Hye Ra.”
Uh-uh. Ternyata
aku salah. Yah, tidak mungkin juga bila kibum hyung bisa membaca pikiranku.
“Memangnya ada
apa, sih?” aku yang ingin tahu ikut nimbrung.
Tiba-tiba saja,
Hye Ra bangkit dan berlari ke kamarnya. Menutup pintu geser kamar itu dengan
gerakan cepat hingga menimbulkan bunyi bedebam.
Kibum hyung
terkekeh pelan. Bukan ‘ohohoho’ seperti tadi lagi. “Dia menyukai si pengantar
bunga,”
“Hoo...” aku
mengangguk mengerti. Jadi itu penyebabnya mengapa sikapnya sedikit berubah saat
Kibum hyung menyinggung tentang bunga.
“Hmm, jadi,
bagaimana hubunganmu dengan Minho?”
“Eh?”
Sudah lama
sekali aku tidak mendengar namanya. Si pangeran kodok yang sangat populer saat
masih sekolah dulu. Yah, dia adalah mantan pacarku. Tapi aku memutuskan
hubungan dengannya saat itu. Karena suatu alasan, yang...
“Masa kau lupa,
hm?” tanya Kibum hyung lagi sesaat setelah ia menyesap tehnya. “Apa kau tahu
dia sekarang menjadi seorang eksekutif muda, pemilik beberapa game centre di
korea selatan?”
Aku hanya
tersenyum menanggapi pertanyaan Kibum hyung. Sejujurnya aku tidak tahu
bagaimana kehidupan minho hyung setelah itu, bahkan kabarnya pun tidak. Aku
sudah benar-benar memutuskan hubunganku dengannya. Egois, bukan? Padahal jika
dulunya adalah pacar, bisa saja kami berteman. Tapi aku memilih untuk tidak
segalanya.
“Haduh, Taemin.
Kau ini tidak tahu benar? Dasar payah.” Kibum hyung menggeleng melihatku. ”Aku
saja yang seorang novelis ini bisa mengetahui dunia luar. Seharusnya kau yang
belum bekerja lebih gaul sedikit dong”
“Hehehe...”
Hening. aku pun
memutuskan untuk diam, sama hal nya seperti kibum hyung yang hanya menatapku
dengan bibir yang sedikit dimajukan. Melihatnya aku jadi ingin tertawa saja.
“Umm... hyung,
sebenarnya, kau ini menulis novel tentang apa sih?” aku menunjuk deretan novel
yang berjejer rapi di atas rak. Sebenarnya meski aku telah berteman lama dengan
kibum hyung, tak sedikitpun aku tahu apa yang ia tulis pada novel karyanya.
“Cerita semacam
detektif, sherlock holmes, gallagher atau yah, manga jepang semacam meitantei
conan.” Jawab kibum hyung santai.
Eh? Kenapa...
kibum hyung jadi menulis karya seperti itu? Bukankah dulu ia sangat membenci
meitantei conan karena pacarnya, jjong hyung, sikapnya menjadi seperti seorang
psikopat lantaran mengoleksi manga itu? Jangan-jangan...
Aduh, kenapa aku
merinding begini, yah?
“Kenapa kau
mengusap-ngusap lenganmu seperti itu, Taemin? Kau kedinginan?”
Refleks aku
menghentikan gerakanku yang sebenarnya tak kusadari, lalu memandang kibum hyung
dengan sebuah cengiran yang kubuat di bibirku.
Ia memandangku
sejenak, lalu beranjak ke kamarnya, kemudian kembali dengan sebuah jas hitam
panjang yang berada di genggaman tangannya. Melemparnya padaku.
“Aku tidak punya
jaket. Pakailah itu.” Ia berkata dengan datar.
Agar tidak
dibilang aneh, segera saja aku memakainya.
Ia kembali duduk
dihadapanku, dan aku kembali menatapnya. Sejenak aku berpikir untuk membuka
pembicaraan kembali.
“Hyung... dalam
percintaan, jika salah satu dari mereka berkhianat, apa itu artinya cinta
adalah permainan, hyung?” aku bertanya dengan ragu.
Ia menatapku
bingung, lalu berdeham. “Bukan, Taemin. Karena tidak ada yang menang dan yang
kalah dalam percintaan.Bisa saja kau berpikir seperti itu, karena perasaan
memang yang mendominasi arti suatu kata dalam ‘cinta’. Tapi iabukan suatu permainan, hanya ilusi
kebohongan yang bisa ditangkap oleh perasaan.Maka dari itu, terkadang memang
ada salah satu dari mereka yang harus terluka karena perasaannya sangat
sensitif.”
Dan perkataan
hyung yang membingungkan mampu membuatku melongo.
“Lalu, kau
dengan jjong-hyung...?”
“Hmm, yah, aku
dan dia bukan saling mencintai. Tapi menyayangi.” Kibum hyung tersenyum. “Tapi,
kenapa tiba-tiba kau bertanya tentang hal seperti itu? Apa... kau sedang jatuh
cinta, ya?”
Eeh~? Tidak kok!
Kau salah baca, kibum hyung!
“Gelenganmu
menandakan suatu hal yang berbeda dari kenyataannya...” ia menggodaku dengan
tersenyum jahil.
“Bu-bukan! Aku
dan Jinki-hyung hanya...”
“Eh? Jinki?”
ups. Aku salah bicara. “Taemin... kau.. apa hubunganmu dengan si kacamata tebal
itu?”
—
TBC