Jumat, 15 Juni 2012

Kkeojyeo Julge Jal Sara

Diposting oleh Viriza Rara di 10.49 0 komentar

Title : Kkeojyeo Julge Jal Sara (I’ll go off so you can life better)

Author : Viriza Rara

Genre : Sad, Romance, Angst

A/N : Judul sama isi jauuh berbeda. Hohoho~


Taemin’s PoV

“Taemin...”

Aduh, mengganggu saja. Siapa sih? Aku masih ingin tidur...

“Taeminnie... bangun sayang...”

“Mmm... ne...” aku bergumam dengan mata yang masih terpejam.

“Ini sudah siang, yeobo...”

Eh, memangnya aku sudah menikah, ya?

Hmm, menikah...
.

Me-ni-kah..?

...APA?!

Seketika aku terbangun dengan mata yang terbelalak padanya. Menyadari sesuatu yang aneh pada kalimat yang diucapkannya padaku.

Dia tertawa melihatku yang langsung bangun dengan cepat. Huh. Ternyata dia hanya mengerjaiku.

“Hyung... dasar jahil kau ini,” aku menghela nafas dan mempoutkan bibirku. Untung saja dugaanku salah kalau aku sudah... ehm... menikah. Sangat tidak mungkin bila aku dinikahi saat aku sedang tidur. Haah... taemin, kau ini melantur sekali.

Taesun hyung, namja berperawakan tinggi yang sedang mengancingkan jas kantornya itu adalah kakakku. Dia sering iseng mengerjaiku karena menurutnya aku sangat lucu. Padahal aku sudah lulus kuliah dan baru saja akan bekerja. Aku juga sudah mulai menghilangkan sikapku yang kekanak-kanakkan. Membuat tindik di telinga dan sering bersikap macho. Apanya yang lucu coba?

“Sudah kusediakan banana milk plus daging panggang di meja makan. Sana, mandi lalu sarapan.” Titahnya sambil masih terus bercermin diri. Aku beringsut menuruni bed, kemudian berjalan dengan langkah malas ke arahnya.

Ia melirikku melalui cermin. “Kamar mandinya sebelah sana, Taemin. Kamu ngelindur yah?” tanyanya dengan menaikkan sebelah alis tebalnya.

Mengabaikannya, aku malah mengambil dasi bergaris-garis yang berada di  meja rias, lalu memakaikannya pada kerah kemejanya dengan gerakan... ehm, seperti seorang wanita yang sedang memakaikan dasinya pada suaminya. Aku berniat untuk membuat hyung-ku sadar bahwa aku bukanlah anak kecil lagi.

Ia memandangku heran. Aku menalikan dasi itu dengan begitu rapi, lalu menatapnya dengan tatapan lembut dan manja. Dengan seperti ini, aku yakin ia akan menganggapku sudah dewasa.

“Aku bantu memakaikannya, hyung” aku mengerling padanya seraya tersenyum.

“Taemin..” ia menahan nafas.

“Ya?”

“Aku tahu kau bukan lagi anak kecil,”

Aha! Taktikku berhasil! Yeah!

Taesun-hyung berdeham, “Tapi sepertinya kau semakin larut dalam permainan ‘rumah-rumahan’ kita, ya?”

Aku melongo.

“Eum, maksudku, kau tampak lebih seperti wanita pagi ini.”

Ya. Aku tahu itu. Memang itu maksudku menunjukkan sikap barusan.

“Kau tidak marah?” Taesun-hyung menatapku aneh dan itu menghentikan kegiatanku yang sedang mengedip-ngedipkan mataku.

“Untuk apa?” tanyaku bingung.

“Eum, kau terlihat cantik meski baru bangun tidur.”

Idiih... mencoba merayuku, ya?

“Sebenarnya,” Taesun-hyung mengecup keningku sekilas, mengambil koper dan beranjak ke ambang pintu. Eh? Kok meninggalkanku begitu saja sih hyung?

“Arti dari kalimatku tadi adalah, kau menghilangkan kesan manly pada dirimu sendiri.”

Dan setelah menyelesaikan kalimatnya, ia langsung pergi keluar apartemen. Meninggalkanku yang masih melongo dengan wajah yang terasa panas.

Huwaaa, ternyata caraku salah! Aku malah menghancurkan harga diriku sebagai seorang pria di hadapan kakakku sendiri! Dasar Taemin bodoh!!

——

“Haah...”

Aku berjalan sambil sesekali menendang batu kerikil yang ada, berharap bisa menghilangkan rasa maluku yang terus hinggap sejak kejadian pagi tadi di kamar. Terus merutuki kebodohanku yang begitu lalai menjaga harga diriku.

Aku tidak yakin mampu bertatap muka dengannya nanti. Geez... apa yang harus aku lakukan sekarang?

“Hei, Taemin!”

Aku menghentikan langkahku dan segera menoleh. Kanan, tidak ada. Kiri, tidak ada. Belakang, juga tidak ada. Siapa?

“Sini, sini!” panggil suara itu lagi. Aku memicingkan mataku, dan mendapati seseorang yang sangat kukenal sedang melambai ke arahku dari kebun di halaman rumahnya. Segera aku berjalan mendekatinya.

“Pagi, Kibum hyung... ada apa?” sapaku pada namja bermata tajam—hampir seperti kucing yang tersenyum sumringah melihatku.

“Pagi, Taeminnie...” balasnya.

Aku menumpu kedua tanganku pada pagar dinding pembatas rumahnya yang pendek. Memerhatikannya yang sedang mengelap keringat menggunakan lengannya. Ia tampak lusuh dengan pakaian berkebun yang sudah ternoda, topi khas yang ditalikan sampai dagunya, juga sapu besar yang digenggamnya.

“Asistenku belum datang, dan aku sudah tidak tahan untuk segera membereskan kebun. Tapi ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Kau sedang tidak sibuk, kan? Bisa membantuku tidak?”

“Oh, tentu.” jawabku sambil tersenyum. Ia balas tersenyumlalu segera membuka pagar putih—tidak lagi pink seperti biasanya—rumahnya, dan mempersilahkanku untuk masuk.

Aku menurutinya dan mulai melangkahkan kakiku memasuki halaman rumahnya.

“Jadi, apa yang bisa kubantu?” tanyaku begitu telah sampai di kebunnya yang tampak berantakan.

“Hmm, bisakah kau memindahkan pot-pot keramik itu ke sepanjang jalan menuju pintu rumahku, Taem? Akan terlihat lebih bagus bila disusun seperti itu.”

Aku mengangguk, lalu beralih menatap pot-pot keramik yang dimaksudnya. Satu, dua, tiga.... sepuluh pot keramik yang cukup besar. Apa aku bisa mengandalkan tenaga manly-ku, ya?


“Hyung, sebaiknya kau mengganti pakaianmu, deh..” aku berkata sambil terus memerhatikan kibum hyung yang sedang membuat teh jepang di dapur.

“Ya. Kau terlihat buruk sekali, Oppa” timpal Hye Ra yang sedang duduk di sampingku di atas tatami.

Kibum hyung selesai membuat tehnya dan menghampiri kami dengan tiga gelas teh di atas nampan yang dibawanya. Menaruh teh tersebut di atas meja, lalu duduk dengan gaya seperti orang jepang.

“Hohoho... meski aku seperti ini, tetap saja jonghyun-hyung mencintaiku...” katanya disertai senyuman licik khas seorang diva—atau kucing?

“Hoo...” aku mengangguk, kemudian meneguk teh hangat itu. “Hubungan kalian masih langgeng sampai sekarang, ya, hyung?”

“Tentu saja, ohohoho...” kibum hyung mengambil segelas teh dan meneguknya perlahan, lalu kembali menatapku dan Hye Ra bergantian. “Buktinya setiap hari dia mengirimkan bunga untukku. Iya, kan, Hye Ra?”

Hye Ra mengangguk dengan ragu.

“Ada apa, Hye Ra?” aku menatapnya khawatir. Tidak ada jawaban. Aku beralih menatap kibum hyung, tapi ia malah tersenyum tidak jelas dengan pandangan menerawang.

Aku jadi agak merinding untuk sekadar duduk di sini. Kurasa suasananya jadi semakin menyeramkan. Aura anehnya sangat terasa.

TING TONG!

Gerakanku terhenti dan aku langsung beranjak untuk membuka pintu. Meski aku bukan pemilik rumah ini, tapi, yah, kau tahu lah.. pemilik rumahnya sedang—

“Biarkan aku yang membukanya, Taemin.”

Kibum hyung menghalangiku dengan senyum aneh yang masih tergambar di wajahnya, lalu membuka pintu. Aku memutuskan untuk kembali duduk di tatami. Kulirik Hye Ra yang masih diam di sampingku. Semburat merah di wajahnya terlihat semakin jelas.

Beberapa saat kemudian kibum hyung datang menghampiri kami. Ditangannya ada sebuket bunga.

“Hyung... itu—“

“Yup! Ini dari my lovely dino.” Ia mencium harum bunga itu.

Oke. Kurasa aku sedikit iri dengannya. Mengingat kalau cinta kibum hyung berbalas, dan mereka hidup bahagia. Sedangkan aku? Berbeda jauh.

“Kau malu untuk menemuinya, heum?” suara Kibum hyung menyadarkanku dari lamunan.

“Eh? Apa maksud hyung?”

“Aku berbicara dengan Hye Ra.”

Uh-uh. Ternyata aku salah. Yah, tidak mungkin juga bila kibum hyung bisa membaca pikiranku.

“Memangnya ada apa, sih?” aku yang ingin tahu ikut nimbrung.

Tiba-tiba saja, Hye Ra bangkit dan berlari ke kamarnya. Menutup pintu geser kamar itu dengan gerakan cepat hingga menimbulkan bunyi bedebam.

Kibum hyung terkekeh pelan. Bukan ‘ohohoho’ seperti tadi lagi. “Dia menyukai si pengantar bunga,”

“Hoo...” aku mengangguk mengerti. Jadi itu penyebabnya mengapa sikapnya sedikit berubah saat Kibum hyung menyinggung tentang bunga.

“Hmm, jadi, bagaimana hubunganmu dengan Minho?”

“Eh?”

Sudah lama sekali aku tidak mendengar namanya. Si pangeran kodok yang sangat populer saat masih sekolah dulu. Yah, dia adalah mantan pacarku. Tapi aku memutuskan hubungan dengannya saat itu. Karena suatu alasan, yang...

“Masa kau lupa, hm?” tanya Kibum hyung lagi sesaat setelah ia menyesap tehnya. “Apa kau tahu dia sekarang menjadi seorang eksekutif muda, pemilik beberapa game centre di korea selatan?”

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Kibum hyung. Sejujurnya aku tidak tahu bagaimana kehidupan minho hyung setelah itu, bahkan kabarnya pun tidak. Aku sudah benar-benar memutuskan hubunganku dengannya. Egois, bukan? Padahal jika dulunya adalah pacar, bisa saja kami berteman. Tapi aku memilih untuk tidak segalanya.

“Haduh, Taemin. Kau ini tidak tahu benar? Dasar payah.” Kibum hyung menggeleng melihatku. ”Aku saja yang seorang novelis ini bisa mengetahui dunia luar. Seharusnya kau yang belum bekerja lebih gaul sedikit dong”

“Hehehe...”

Hening. aku pun memutuskan untuk diam, sama hal nya seperti kibum hyung yang hanya menatapku dengan bibir yang sedikit dimajukan. Melihatnya aku jadi ingin tertawa saja.

“Umm... hyung, sebenarnya, kau ini menulis novel tentang apa sih?” aku menunjuk deretan novel yang berjejer rapi di atas rak. Sebenarnya meski aku telah berteman lama dengan kibum hyung, tak sedikitpun aku tahu apa yang ia tulis pada novel karyanya.

“Cerita semacam detektif, sherlock holmes, gallagher atau yah, manga jepang semacam meitantei conan.” Jawab kibum hyung santai.

Eh? Kenapa... kibum hyung jadi menulis karya seperti itu? Bukankah dulu ia sangat membenci meitantei conan karena pacarnya, jjong hyung, sikapnya menjadi seperti seorang psikopat lantaran mengoleksi manga itu? Jangan-jangan...

Aduh, kenapa aku merinding begini, yah?

“Kenapa kau mengusap-ngusap lenganmu seperti itu, Taemin? Kau kedinginan?”

Refleks aku menghentikan gerakanku yang sebenarnya tak kusadari, lalu memandang kibum hyung dengan sebuah cengiran yang kubuat di bibirku.

Ia memandangku sejenak, lalu beranjak ke kamarnya, kemudian kembali dengan sebuah jas hitam panjang yang berada di genggaman tangannya. Melemparnya padaku.

“Aku tidak punya jaket. Pakailah itu.” Ia berkata dengan datar.

Agar tidak dibilang aneh, segera saja aku memakainya.

Ia kembali duduk dihadapanku, dan aku kembali menatapnya. Sejenak aku berpikir untuk membuka pembicaraan kembali.

“Hyung... dalam percintaan, jika salah satu dari mereka berkhianat, apa itu artinya cinta adalah permainan, hyung?” aku bertanya dengan ragu.

Ia menatapku bingung, lalu berdeham. “Bukan, Taemin. Karena tidak ada yang menang dan yang kalah dalam percintaan.Bisa saja kau berpikir seperti itu, karena perasaan memang yang mendominasi arti suatu kata dalam ‘cinta’. Tapi iabukan suatu permainan, hanya ilusi kebohongan yang bisa ditangkap oleh perasaan.Maka dari itu, terkadang memang ada salah satu dari mereka yang harus terluka karena perasaannya sangat sensitif.”

Dan perkataan hyung yang membingungkan mampu membuatku melongo.

“Lalu, kau dengan jjong-hyung...?”

“Hmm, yah, aku dan dia bukan saling mencintai. Tapi menyayangi.” Kibum hyung tersenyum. “Tapi, kenapa tiba-tiba kau bertanya tentang hal seperti itu? Apa... kau sedang jatuh cinta, ya?”

Eeh~? Tidak kok! Kau salah baca, kibum hyung!

“Gelenganmu menandakan suatu hal yang berbeda dari kenyataannya...” ia menggodaku dengan tersenyum jahil.

“Bu-bukan! Aku dan Jinki-hyung hanya...”

“Eh? Jinki?” ups. Aku salah bicara. “Taemin... kau.. apa hubunganmu dengan si kacamata tebal itu?”

Hyaaa~! Akhirnya perasaan yang selama ini kusembunyikan ketahuan juga!


 TBC
           

Minggu, 10 Juni 2012

Story : The Lost Heart

Diposting oleh Viriza Rara di 10.32 0 komentar


The Lost heart


[Originally by myself]

Genre : Fantasy, Yaoi

Rating : PG-17

Note  : This fanfiction inspired by music video of  IU. There’s no character’s name, so imagine it by yourself.Typos? I don’t care. Ohohoho....



Saat sesosok malaikat kehilangan hatinya, bukan berarti ia menjadi kejam, tapi jiwanya merasa kesepian.


“Aku sudah lelah...” namja itu menutup kelopak matanya perlahan.

“Maaf... hyung... aku...”tak bermaksud menyakitimu.

“Terlampau lelah melihatmu dengannya...”ucapnya lirih, dan air matanya mengalir.

“Bukan... kau salah...”aku saat itu lupa akan keberadaanmu...

“Biarkan aku pergi...” kini ia berbalik.

“Tidak..!!”jangan pernah tinggalkan aku...

“Terimakasih... untuk segalanya.” Ia tersenyum tulus.

 Dan tubuhnya terhempas. Terjatuh dari atap gedung.


Aku menangis

Bukan seperti diriku yang sebenarnya, tapi kau membuatku menjadi seperti ini

Kenapa kau pergi?

Kepergianmu membuat setiap rongga hatiku terpenuhi oleh rasa penyesalan yang tak berujung

Hati ini hampa tanpamu

Seperti jalan yang gelap dan sepi pada malam hari

Aku tahu ini tidak nyata

Katakan padaku bahwa perpisahan ini hanyalah mimpi

Tak lama lagi aku pasti akan terbangun

Menyambut kenyataan bahwa kita tidak berpisah

Tapi kapan?


Seorang namja berwajah malaikat melangkahkan kakinya perlahan dengan seluruh kekuatan yang masih tersisa padanya. Air mata tak berhenti mengalir dari kedua sudut matanya yang basah. Mengalir tersembunyi melewati hati yang kesepian.

Menyeret langkah berat menuju di mana dua buah bangunan saling berhadapan kokoh. Portal kematian. Dunia gelap yang hanya diperuntukkan bagi orang yang telah lelah untuk hidup dan jiwanya yang kesepian.

Langkahnya terhenti ketika ia sampai tepat di pintu kematian. Ia memandang kosong pada udara di depannya. Pancaran kehampaan sinar matanya menyiratkan kepedihan yang mendalam, pada suatu tempat dalam dirinya yang tak bisa dijelaskan.

Ia menarik nafas dalam, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa inilah pilihan terbaiknya. Satu-satunya jalan untuk menemui orang yang dicintainya.

Seulas senyum tergambar di wajahnya ketika ia membayangkan tentang kekasihnya. Tangannya tergerak mengambil selembar foto tentang dirinya dan namja itu. Melihatnya sesaat dan hatinya kembali terasa pedih.Dan setetes air mata mengalir kembali. Membiarkan dirinya sesaat terlarut dalam kesedihan tak berakar yang membuat hatinya tersayat.

“Sebentar lagi kita akan bertemu, bukan...?” ia berdesis tidak pada siapapun.

Jemari tangannya yang lain menggenggam sebuah fighter, yang kemudian diarahkannya pada foto itu. Lalu membakarnya disertai seulas senyuman pada bibirnya.

Beberapa saat kemudian ia membuang foto tersebut yang baru sebagian terbakar, lalu melangkahkan kakinya memasuki gerbang kematian.

Di dalam dunia yang asing itu saling berjejeran pohon-pohon tua yang sudah kering dan terlihat menyedihkan, tanpa daun seolah akan mati meski tetap berdiri. Seluruh permukaan tanah tertutupi oleh dedaunan maple berwarna coklat. Lalu di sisi lain ada beberapa tumbuhan berwarna kelabu yang dihiasi bunga mawarhitam.

Ia mengambil bunga itu dan memandangnya dengan heran.

Apa? Kenapa masih ada bunga di tempat berbau kematian ini? Bukankah bunga terlalu cantik untuk disandingkan dengan hal buruk seperti ini?

Angin berbau kematian berhembus menerpa tubuhnya, seolah menyambut kedatangan calon manusia yang akan dimangsa kegelapan.

“Aku di sini, sayang...”

Samar dengan sedikit bergema, ia mendengar suara kekasihnya yang berucap di sisi lain. Segera ia berlari ke arah datangnya suara, menjejakkan kakinya dengan langkah cepat pada tanah yang tertutupi oleh dedaunan dan beberapa ranting patah.

TAP

Sepertinya suara tadi berasal dari sekitar tempatnya berpijak saat ini. Tapi... di mana sosok yang sangat ia rindukan itu?

“Dimana? Kau... dimana..?” ia bertanya dengan nafas yang terengah.

“Aku di sini...”

“Hiks...”

Ia terjatuh. Lelah menjalari seluruh tubuhnya. Sudah tak tahan dengan semua ini. Ingin rasanya menangis untuk meluapkan rasa rindu saat ia mendengar suara lembut kekasihnya.

“Aku tak bisa melihatmu...” ucapnya di sela tangisnya.

Tiba-tiba dari tanah tempatnya berpijak, merambah ke atas makhluk berbayang kegelapan. Berwujud angin yang tak bisa disentuh, tapi hanya bisa dirasakan kehadirannya. Makluk itu bergerak menggeliat hingga sosok tepinya terlihat samar, lalu berpindah posisi secara perlahan, seolah menuntunnya menuju suatu tempat. Dan entah karena apa, ia menurut saja.

Mereka berjalan menyusuri lorong gelap yang hanya terdapat sedikit penerangan. Bahkan dinding lorong itu sangat gelap hingga terlihat seperti transparan. Udara yang dingin mendominasi atmosfer di sekitarnya.

Tak lama setelah ia menyusuri lorong tersebut,makhluk kegelapan yang samar itu berhenti dan berputar mengelilinginya, hingga yang hanya bisa ia lihat hanyalah kabut kegelapan dan bau kematian yang begitu menusuk. Beberapa detik kemudian makhluk tersebut lenyap.

Ia melihat ke sekeliling dengan pandangan bingung. Yang ia bisa tangkap dengan matanya adalah tempat asing yang pekat dengan kegelapan, tapi ada satu yang ganjil. Satu lingkaran di hadapannya yang berkilau, seperti tersorot cahaya di antara deretan pepohonan tua yang ada.

Dan... Suara gemercik air? Mengapa terdengar di telinganya dengan begitu lembut?

Memejamkan matanya dengan memusatkan pikiran pada suara gemercik air tersebut. Beberapa saat kemudian, matanya terbuka sempurna dengan bulir-bulir air bening yang jatuh, menuruni lekuk pipinya sebelum terjatuh menapaki tanah.

Air mata yang mengalir beriringan begitu sajapada pipinya adalah sebab dari ia menyadari bahwa saat ini tengah berada di antara alunan melodi alam kesunyian.

Inikah kematian yang sesungguhnya? Tapi... bukankah ini terlalu indah?

Lingkaran berkilauan di hadapannya adalah danau dengan kilau kehidupan. Mungkin sudah terlambat untuk kembali ke dunianya yang dahulu, karena ia terlanjur memilih jalan yang salah. Tapi tak sedikitpun ia menyesal, karena ia merasa seperti hidup kembali dengan memori kesunyian.

Dalam benaknya, kembali berputar ulang lagu bernada kesunyian.

“The pouring rain i cannot see before one...”

Mulutnya berucap melantunkan lagu yang pernah disenandungkan dengan kekasihnya.

“Put it all to the side, wihsing, hoping to not walk there...Difficulty standing, trembling horribly like the edge of a cliff...Folding my small two hands to pray...”

Seketika itu juga danau dihadapannya semakin berkilau, dan pepohonan tua di sekitarnya bergoyang mengalunkan irama gesekan yang indah—seperti biola usang yang masih kuat bernyanyi. Ia tetap menyanyikan lagu itu dengan mata yang tertutup damai.

“My heart filled with gashes, the deep wounds make me want to hate you.Burning the photograph, erasing from my heart, forget all the memories.Again and again...”

Namun ia tiba-tiba menghentikan nyanyiannya, ketika merasa mencium harum kekasihnya. Saat membuka mata, samar-samar ia melihat bayangan kekasihnya berjalan mendekat ke arahnya.

Benarkah ia...?

“Hyung...”

Kekasihnya menatapnya dengan kehampaan. Tatapan yang sulit dimengerti olehnya, tapi itulah sorot mata seseorang yang telah mati. Ia mengulurkan tangannya, meraih tangan namja kecil itu, lalu memberinya sebuah cincin.Setelahnya, ia mengusap pipi namja itu lembut. Menghapus jejak air mata yang berbekas di sana.

“Kumohon... tinggallah denganku...” namja cantik berwajah malaikat itu memohon dengan berbisik.

Tapi namja yang adalah kekasihnya itu menggeleng. Ia tidak ingin melihat kekasihnya yang masih hidup mengakhiri segalanya, dan memutuskan untuk bertemu dengannya. Itu adalah suatu kesalahan besar. Lalu ia mendekatkan wajahnya pada namja itu dan berbisik,

“I adore you...”

Dan sosoknya menghilang bagai serpihan bunga yang berguguran tertiup angin.


Kelopak matanya terbuka perlahan, merasakan rintik hujan yang menyentuh lembut kulitnya. Ia terbangun dengan gerakan yang lemah.

Pandangannya kembali terarah pada nisan di hadapannya. Hendak meraih nisan itu, tapi ia urungkan niatnya sebab terhenti oleh selembar foto yang terjatuh di dekatnya. Ia mengambil foto itu.

Kini fotonya sudah tak utuh. Hanya tersisa wajahnya saja yang tertunduk malu dengan bersemu merah. Sesungguhnya ada subyek lain di sampingnya, yang membuat namja dalam foto itu merasa malu. Yaitu kekasihnya yang hendak menciumnya. Tapi... gambar kekasihnya itu hilang.

Ada sisa abu yang melekat di sana, menandakan bahwa foto itu baru saja terbakar api.

Ia mendongak. Sedikit terasa perih ketika air hujan itu menimpanya dalam tempo yang cepat. Ia meletakkan satu tangannya di atas wajahnya, guna menutupi wajah malaikatnya dari air langit yang semakin menghujam.

Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman. Ia sangat berterima kasih pada hujan yang tidak menghapus gambarnya dari foto tersebut.Seolah sang hujan berkata padanya bahwa hidup masih harus terus berlanjut.

Saat ia menurunkan tangannya kembali, ada sesuatu dari genggamannya yang terjatuh. Ia meraih benda kecil itu, dan tersenyum kembali melihatnya.

Terukir namanya di sana. Pastilah itu adalah cincin pertunangannya yang belum sempat diberi oleh kekasihnya, dikarenakan sehari sebelum pertunangan itu, kekasihnya memutuskan untuk mengakhiri hidup.

Tapi tak apa. Ia pun telah bertindak bodoh dengan selalu mengabaikan rasa cinta kekasihnya. Barulah saat ini ia menyadari betapa beruntungnya ia dicintai seseorang yang pernah bersabar untuknya ketika ia bersama dengan orang lain.

Tes. Tes. Tes.

Hujan semakin lebat. Sepertinya ia harus segera pulang.

Ia bangkit dengan tetap menggenggam cincin dan foto itu, lalu sebelum melangkah pergi, ia berbisik pada makam itu.

“Now I found my lost heart...”



Hatiku tak pernah hilang,

Hanya tersembunyi saat aku benar-benar buta karena kesedihan.

Maafkan aku yang saat itu melupakanmu

Tapi kau masih menginginkanku tersenyum untuk hari esok, bukan?


Namja itu tetap diam dan berdiri memandangi sosok namja lainnya yang baru saja pergi meninggalkan makam. Sesungguhnya sejak tadi ia sangat ingin merengkuh sosok namja itu, yang menangis untuknya. Namun ia tahu itu tidak akan mungkin bisa dilakukannya.

Sangat menyedihkan ketika ia melihat kekasihnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya agar mereka bisa bertemu kembali. Sorot kehampaan sinar mata kekasihnya saat itu adalah wujud dari rasa keputus asaan yang sangat membuatnya merasa bersalah.

Tapi kini malaikatnya telah menunjukkan senyumnya kembali. Ya, di bawah guyuran hujan, ia telah menemukan kembali hatinya yang tersembunyi.


THE END

[ Vistory ]

Halaman

Pages

Cari Blog Ini

Jumlah Pengunjung

 

SAN3R Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting