Jumat, 16 Mei 2014

Hanya Sebuah Cerita

Diposting oleh Viriza Rara di 11.37 0 komentar

Suatu hari, seorang gadis remaja terbangun dari tidurnya. Mimpi semalam membuat matanya semakin terasa berat untuk sekadar memandang. Dia berniat untuk membasuh muka dahulu supaya nyawanya berkumpul kembali.
Setelah membasuh muka, ia menutup kran wastafel. Mata besarnya yang jernih—dan sering dipuji banyak orang—itu menatap cermin didepannya. Dan disana ia melihat pantulan bayangannya sendiri. Betapa kacaunya penampilan itu; lingkaran gelap sekitar kedua mata, sorot mata yang tak bergairah, serta rambutnya yang acak-acakan. Ditambah satu hal yang membuat dirinya terlihat semakin suram: ujung bibir yang tertarik ke bawah.
Ia sudah lupa kapan terakhir kali dirinya terlihat begitu menyenangkan dimata orang lain. Ia, Finnesa Hutcterson yang dulu. Yang selalu ceria, fresh, dan tak banyak memikirkan beban. Karena semenjak hari itu—tanggal 8 maret, hari-harinya terasa suram. Semuanya menjadi keruh. Seolah bayang-bayang yang ingin ia gapai, memudar lalu menghilang. Tanpa jejak.
Karena sejak saat itu, masalah datang satu per satu. Belum sempat diselesaikan sudah muncul yang baru lagi, jadi menumpuk. Nesa terjatuh, remuk, dan kehilangan semangat untuk kembali bangkit. Tak ada lagi alasan yang bisa membuatnya tersenyum tulus dari lubuk hati. Mata yang berapi-api itu hanya kedok dari penjara hatinya. Saat ia tertawa bersama teman-teman, pikirannya tak lepas dari bayang-bayang kesalahan. Benar, dengan kata lain, dia memang munafik.

——

Sempat kali hatinya berharap akan ada orang yang menyelamatkannya dari penjara itu; jurang yang sangat dalam tanpa celah untuk keluar dari dalam sana. dia tak bisa memanjatnya sendiri dengan tangan kosong—muluk sekali, pikirnya. Meski nyatanya ia pernah beberapa kali mencoba, tapi gagal. Berulang kali pula ia terjatuh kembali. Dan sakit yang dirasakannya jadi semakin dalam saja.
Sambil terdiam dan meredam sakitnya, acap kali ia meyakinkan dirinya kalau ia tak pernah kehilangan. Karena dia tidak pernah memiliki. Segala sesuatu di dunia ini hanyalah titipan. Dengan begitu, sampai saat ini dia hanya melepas dua orang yang dia sayangi, dan mengembalikan satu orang yang dicintainya pada pemiliknya semula. Ya, semuanya hanya tipuan. Jangan tertipu dengan dunia yang fana dan menjemukan ini, batinnya menguatkan.
Kadang manusia lupa darimana semuanya berawal. Dengan segala yang ada di dunia ini, mereka jadi buta, tuli dan bodoh.
Suara derap langkah mendekat ke pucuk jurang. Nesa mendongak. Hatinya berharap akan ada orang yang kali ini akan menyelamatkannya. Dengan segenap harapannya, ia berteriak meminta tolong.
“Seseorang atau siapa pun, di sana!! Kumohon, tolong aku!”
Tak disangka, harapannya terkabul. Orang itu mendengarnya lalu melemparkan ujung tali padanya untuk menariknya keluar dari jurang itu.
Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Entah itu bahagia, berterima kasih atau terharu. Semuanya karena seseorang yang mengakui keberadaannya itu. Selama ini dia tidak pernah menemui orang yang benar-benar peduli padanya—tidak sampai orang itu datang. Dan menolongnya untuk keluar dari jurang mengerikan itu.
Ku bahagia kau telah terlahir di dunia...
Dan kau ada di antara milyaran manusia...
Dan ku bisa dengan radarku menemukanmu...
——
Wanita cantik dengan senyum menawan itulah dewi penolongnya. Namanya Hujan. Nama yang tidak cocok untuk wanita yang terlihat dewasa dengan segala keanggunannya. Jika lumrahnya hujan berarti bersedih, makna itu tidak berlaku bagi wanita cantik bernama Hujan. Hidupnya terlihat tanpa beban, senyumnya selalu memberi kehangatan bagi siapa pun yang melihatnya. Dia wanita yang luar biasa. Nesa mengaguminya.  
Hari demi hari berlalu.
Nesa semakin dekat dengan Hujan. Hubungan mereka bisa dikatakan seperti seorang adik dan kakak. Bagi Nesa, tiada hari tanpa bertemu dengan Hujan, untuk sekadar mendengar suaranya yang indah, melihat parasnya yang cantik, dan mencium wanginya yang harum. Dia wanita yang sempurna. Meski sangat bertolak belakang dengan Nesa—dan segudang kecacatannya, Nesa merasa sangat nyaman berada di dekat Hujan. Entah karena apa. Hujan pun tidak mempermasalahkan hal itu, ia tidak terlihat terganggu dengan sikap Nesa yang selalu bermanja-manja dengannya.
Tapi, pada suatu hari yang cerah, Nesa melihat lingkaran berwarna gelap di sekitar mata Hujan. Nesa tahu ada yang tidak beres. Pastilah Hujan baru menangis. Tapi karena Hujan tak bercerita apa pun, maka Nesa pun bungkam. Mungkin ia sedang tidak ingin bercerita, atau memang tidak ingin membagi masalahnya pada Nesa. Memang ada kalanya semua hal tidak bisa diceritakan pada orang dekat sekalipun, bukan?
Nesa hanya ingin membantunya. Ia merasa masih perlu untuk membalas hutang budinya dahulu. Bagaimana pun juga, Nesa telah diselamatkan dari keputusasaannya. Mungkin inilah saat baginya untuk membalas kebaikan Hujan.
Pada hari berikutnya, dan hari-hari setelah itu...
Nesa tidak bertemu lagi dengan Hujan. Wanita itu menjadi sulit dihubungi. Dia seperti menghilang tanpa jejak. Nesa merasakan firasat buruk. Dia tidak inginberpikiran negatif dahulu, jadi dia mencari kemanakah Hujan pergi. Wajah terakhirnya yang terlihat sedih membuat wajah itu tidak bisa beranjak dari pikiran Nesa. Nesa terus terbayang wajah cantik itu yang—tidak seperti biasanya—menangis.
Hari-hari berikutnya menjadi semakin sulit bagi Nesa. Kisah mereka seperti berada di ujung tanduk. Tidak jelas, menggantung, dan begitu menyiksa.
Sepulang dari mini market, Nesa berniat untuk mengunjungi kembali apartemen tempat tinggal Hujan.  Semoga kali ini dia bisa bertemu dengannya, untuk membayar hutang rindunya yang terus menumpuk. Sambil berpikir begitu, Nesa tidak bisa berhenti tersenyum.
Tapi senyumnya itu hilang seketika. Saat ia melihat Hujan sedang bersama orang lain. Berada tepat di seberang jalan sana. Dia terlihat bahagia. Tersenyum dan tenggelam dalam dunianya bersama orang disampingnya. Dan Nesa mematung.
Ia rindu senyum itu, tawa itu, juga harum wanginya. Selama beberapa hari tidak ada kabar, ternyata dia baik-baik saja... meski bersama orang lain.
Entah kenapa, Nesa merasa ada jarak dan pembatas yang kokoh antara dia dengan dunia Hujan saat ini. Pembatas yang tak kasat mata, tetapi begitu jelas dirasakan. Hatinya terasa teriris. Lalu apa arti hubungan kakak-adik mereka selama ini?
Hanya ada satu kebenaran diantara semua kebohongan.
Langkah Nesa sedikit terburu saat menyeberang jalan untuk menemui mereka. Hujan dan orang itu tidak melihatnya, mereka berjalan sambil berbincang ringan. Hujan terlihat ceria tanpa beban.
Beberapa langkah kaki lagi Nesa akan memperkecil jarak diantara mereka. Hatinya berdebar tak keruan. Apa yang akan terjadi nanti? Rindu yang selama ini terpendam mungkin saja akan meluap...
Seseorang disamping Hujan menyadari kehadiran Nesa. Dia melirik padanya. Meski Nesa tahu mereka belum pernah bertemu sebelumnya, ekspresi orang itu menunjukkan ketidaksukaan. Wajahnya tampak tak ramah, dan... seolah menyuruh Nesa untuk tidak mengganggu dunia mereka. Hujan belum menyadari keberadaan Nesa. Dia terus bercerita tentang suatu hal pada orang disampingnya. Seolah Nesa tidak ada.
Hujan...
Nesa memanggil namanya lirih. Hatinya terasa pedih. Dia mengurungkan niatnya untuk melangkah lebih jauh dan membiarkan mereka pergi. Dunia mereka tidak akan pernah bisa Nesa gapai. Hanya dengan melihat Hujan yang baik-baik saja, itu sudah cukup.
Hujan menoleh. Tapi Nesa sudah bersembunyi dibalik tembok pertokoan. Dia tidak mau melihat Hujan lagi, untuk saat ini... dia ingin sendiri.
Dan rindunya tumpah menjadi air mata.
Hal yang begitu rapuh, dan hal yang fana, apakah mereka juga cinta?
Namun tak ada bahagia di sana.
——
            Akhirnya Nesa tahu alasan mengapa jarak dan pembatas diantara mereka begitu jelas. Juga mengapa Hujan sulit dihubungi akhir-akhir ini. Awalnya Nesa pikir Hujan sedang banyak masalah, jadi butuh waktu untuk menyendiri. Tapi ternyata tidak.
            Karena Nesa-lah penyebab dari setiap masalah yang menghampiri Hujan. Hal itu membuat Hujan tersakiti dan sering menangis. Nesa terpukul. Bagai disambar petir mengetahui alasan itu. Ternyata... selama ini dia melukai orang yang teramat sangat disayanginya. Tak pernah ia pikirkan sebelumnya bahwa dialah penyebab Hujan menangis. Seorang Hujan yang dewasa dan anggun itu... menangis karenanya. Dialah yang bersalah.
            Maka, untuk menebus kesalahannya yang begitu besar dan tak termaafkan, Nesa membuat suatu keputusan yang bulat. Keputusan yang akan mengubah dunianya, atau bahkan mengkhirinya. Ditepisnya keraguan yang sempat mengganggunya.
            Di hari yang mendung; langit tampak tak bersahabat. Nesa berlari sekencang-kencangnya. Pergi dari dunia yang sempat membuatnya bahagia. Pergi dari dunia yang menjemukan. Tetes-tetes air mata yang mengalir tidak dia pedulikan. Hatinya sakit, begitu kecewa dan menyesal. Kecewa pada dirinya sendiri. Kecewa pada dunia ini. Juga begitu menyesal karena dia telah menyakiti orang yang paling disayanginya.
            Tapi dia tidak akan bertanya kenapa. Semuanya sudah jelas, bukan? Bahwa dialah yang bersalah. Dialah aktor jahatnya. Dari awal memaksa, menerobos masuk ke dunia Hujan.
            Sampailah Nesa di tepi jurang. Sambil mengatur napasnya yang masih naik-turun, dia menatap dasar jurang itu. Terlihat begitu dingin dan gelap. Dia jadi ragu.
            Dia masih menyayanginya. Tapi takut untuk mengakui. Jauh didalam hatinya, dia tidak ingin melepas bayang-bayangnya. Rasanya ingin kembali mendengar kisah yang tidak akan pernah dia lupakan. Kisahnya yang berputar, dari keputusasaan lalu bahagia, dan kembali lagi pada lingkaran terakhir; keputusasaan, lagi.
            Dia tidak bisa keluar dari mimpi buruk itu. Bahkan dia tak bisa mengumpulkan keberanian untuk melupakan. Saat memejamkan mata, dia melihat senyum seseorang di hari itu. Dan deru angin itu membuatnya... menggigil beku.
Aku tidak akan kembali lagi, sayang.
Walau kita hanya bersama sesaat saja,
Aku bersyukur karena ku menyayangimu...
            Jika dia bisa, dia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Sampai suaranya habis. Atau melampiaskan seluruh luapan emosinya pada benda lain sampai remuk dan hancur. Tapi dia tidak bisa. Semuanya sudah terlambat. Segala hal sudah berada di tempat yang tidak semestinya. Sambil berpikir begitu, bulir-bulir air mata membasahi pipi pucatnya.
            Dalam hati, tak hentinya dia menyerukan nama seseorang yang membuatnya jadi seperti ini. Sendiri dan kembali dalam jurang keputusasaan. Tapi bukan Hujan yang bersalah. Kali ini adalah salahnya sendiri. Dia sudah lancang untuk memaksa masuk ke dalam dunia Hujan. Lalu akhirnya dia sendirilah yang terluka. Menyadari bahwa akhirnya akan kembali kehancuran yang remuk redam hingga menembus tulang.
            Hujan... hujan... aku merindukanmu.
            Nesa menangis sesenggukan. Air matanya tak terbendung lagi saat mengingat kenangan mereka. Hujan yang begitu baik, cantik, peduli padanya... dialah satu-satunya orang yang mendengar jeritannya.
            Tapi mengingat Hujan yang tersakiti olehnya, Nesa merasa begitu kecewa pada dirinya sendiri. Lalu dengan Hujan yang bersama orang lain, Nesa merasakan kepedihan. Mereka tertawa bersama, terlihat bahagia dan berada di dunia yang berbeda.
            Sedangkan Finnesa hanya sendiri. Menatap mereka dari kejauhan. Dalam sepi dan rindu yang membelah kalbu.
            Mungkinkah dia iri? Mungkinkah dia cemburu?
            Tidak, tidak boleh. Ini semua hanya sandiwara. Sebagian dari kisah bohong yang diceritakan dunia yang semu. Di sana orang berbahagia, di tempat lain orang tersakiti. Seperti kata seseorang, bahwa derita adalah separuh dari keadilan, bukan?
            Maka, lepaskanlah orang yang kamu sayangi bahagia bersama orang lain, Nesa...
            Nesa memandang langit yang tertutupi mendung. Matahari tidak terlihat, tapi hujan tidak kunjung datang. Mungkinkah Hujan sedang bersedih? Dimanakah dia berada sekarang? Nesa ingin bertemu dengannya.... tapi dia hanya mendoakan untuk kebahagiaannya saja.
            Nesa menghapus jejak air mata yang membekas di pipinya. Menghirup napas dalam-dalam, menghapus semua penat dalam pikirannya, lalu berteriak sekencang-kencangnya.
            “Hujan!! Finnesa bakal selalu sayang kamu!! Gimana pun kamu sekarang atau nanti, dia tetap sayang kamu!! Entah dimana dan dengan siapa kamu disana, berbahagialah, Hujan!!!”
            Aku hanya akan selalu mengingatmu. Menyayangimu. Juga merindukanmu.
            Belum selesai luapan emosinya, keseimbangan Nesa goyah. Tanah yang dipijaknya runtuh perlahan. Tapi karena dia berada di ujung, dia terlambat untuk menghindar. Dan semuanya tidak terjadi tepat pada waktunya.
            Sekali lagi, Nesa terseret ke dalam jurang itu.
——
            Matanya mengerjap. Dia tersadar dari lamunannya. Yang barusan itu cuma mimpi. Begitu seharusnya, karena kini dia berada di toilet, berdiri tepat di depan wastafel dan cermin besar. Untuk meyakinkannya, dia layangkan sekali-dua kali tamparan pada pipinya. Sakit. Berarti benar, itu tadi hanya mimpi yang terus membuatnya terngiang kembali karena takut. Mimpi buruknya semalam.
            “Nesa, sarapan sudah siap! Bergegaslah atau warga Bina Nusa bakal membunuhmu. Aku nggak mau kalau sampai adegan itu terjadi di sini.”
            Nesa terkikik geli. Dia segera berjalan ke meja makan setelah mengeringkan mukanya. Seraya duduk di kursi makan, dia melirik gerak-gerik wanita cantik yang terlihat sibuk membereskan peralatan memasaknya. Hujan, nama wanita itu. Dia tinggal di apartemen kecil itu bersama Nesa sejak Nesa ‘dipungut’ olehnya. Yang dimaksud warga Bina Nusa olehnya adalah anak-anak panti asuhan yang dikelolanya. Anak-anak itu begitu dekat dan akrab dengan Nesa. Nesa pun tidak keberatan untuk mengabdikan dirinya pada Bina Nusa, baginya itu adalah pembalasan budi baik Hujan terhadapnya.
            “Kalau itu terjadi, sebelum hujan mengamuk, aku bakal berlindung dibawah payung hitam hehehe...”
            “Nesa... awas kamu!” Hujan mendekati Nesa sambil mengacungkan penggorengan yang dia bawa.
            Nesa bersiap untuk berlari. “Ampun, Dewi Hujan! Ampuuunnnn~!!”
            Dibalik itu semua, dari suatu tempat, mereka tidak tahu kalau ada sepasang mata picik yang memperhatikan gerak-gerik mereka.
——



[ Vistory ]

Halaman

Pages

Cari Blog Ini

Jumlah Pengunjung

 

SAN3R Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting