Gimme a Time Machine (I)
Author : Blue
Genre : Sad, romance
Length : 3 chapter (??)
Chapter One : Frozen Heart
—
Kriiing. Kriiing.
Jarum jam menunjukkan
pukul 2.12 AM ketika telepon itu berdering. Meski ada seseorang yang terjaga di
ruangan, telepon itu tidak segera diangkat.
Kriiing...
Figur namja cantik
dengan rambut blondenya yang tergerai berantakan hanya diam tak bersuara. Lelah
ia terus menangis jika memang hal itu tak bisa mengulang waktu. Hanya mampu memandang
kosong namja berpostur tubuh tinggi dipangkuannya yang sudah tak bernafas.
Matanya tertutup dengan
damai. Seulas senyum mengembang di bibir tebalnya meski jantungnya sudah tak
berdetak. Rupanya perasaan bahagia karena ia menutup mata di pelukan orang yang
dicintai masih terlukis di raganya.
“Taemin, maukah kau mengatakan yang sejujurnya
padaku? Kurasa... waktuku tidak lama lagi” namja itu berkata dengan tatapan
lembutnya pada Taemin. Mengusap pipi seputih salju itu dengan tangannya yang
sudah lemas seperti kehilangan kekuatan.
Taemin meraih tangannya, menggenggamnya lembut agar namja
itu bisa menyentuh pipinya. “Apa maksudmu, hyung? Aku tidak mengerti...”
Namja itu tersenyum lembut padanya. “Aku tahu kau
tidak benar-benar menyukaiku”
Membelalakkan matanya kaget, tak percaya jika ia
mengetahui hal yang selama ini disembunyikannya. Berbagai perasaan bersalah
menelusup ke hatinya saat melihat namja yang telah dibohonginya itu justru
tersenyum. “Maaf...aku...untuk itu..”
“Sst... gwenchana.” berujar letih. Menggerakkan
tangan lemahnya dengan susah payah agar bisa menempelkan telunjuknya pada bibir
Taemin. “Aku tidak apa-apa. Justru aku sangat bahagia kau ada di sisiku untuk
beberapa waktu ini. Terimakasih untuk segalanya, Taemin. Ah, sampaikan juga
ucapan terimakasihku pada Jinki-hyung, yang rela meminjamkanmu di saat-saat terakhirku.
Ku akui dia memang baik, pantas saja kau mencintainya.”
Taemin memejamkan matanya ketika ia mengingat sosok
itu lagi. ‘Kumohon.. jangan membuatku kembali mengingatnya yang hanya akan
membuat luka ini bangkit’
“Umm, Taemin, bolehkah aku berbicara? Aku takut
kalau tidak berbicara, aku tidak akan bisa berbicara lagi”
Merasakan matanya memanas. Tenggorokannya tercekat
akibat menahan tangis yang hendak keluar. Tapi ia masih berusaha tegar. Ia
harus kuat.
“Berbicaralah, hyung” berkata dengan lembut meski
terselip nada getir dalam ucapannya.
“Umm, aku mulai dari mana, ya? Hmm, baiklah. Aku
bahagia karena yang selama ini kuimpikan benar terwujud. Kau tahu? Aku sudah
menderita penyakit ini sejak kecil. Sangat tersiksa sekali karena aku harus
merasakan penderitaan ini. Tapi, aku berharap umurku masih panjang dan aku
ingin bisa merasakan hangatnya cinta. Dan aku bertemu denganmu” menyentil
hidung Taemin pelan, membuat namja blonde itu refleks memajukan bibirnya.
“Lalu, aku menginginkan jika waktunya tiba, aku akan
mati di pelukan orang yang berhasil merebut hati seorang ‘Flaming Charisma’
sepertiku..” terkekeh pelan, sangat pelan hingga menyerupai sebuah bisikan.
Tapi tiba-tiba kekehannya berhenti dan nafasnya terputus.
“Hyung? Ada yang sakit? Akan kupanggilkan dok—”
“Tidak, tidak perlu. Aku hanya butuh pelukanmu, Tae”
Ia menurutinya. Menariknya ke dalam sebuah dekapan
hangat.Dan untuk kali ini, tanpa diinginkannya air mata yang sedari tadi
tertahan akhirnya meleleh juga.
“Kim-Tae—min..... sa—rang-hae...”
Dan matanya terpejam. Tanpa akan terbuka kembali.
Kriiing.
Taemin menggerakkan
tangannya perlahan, menyibakkan poni yang menutupi wajah tampan seorang Flaming
Charisma yang kini tertidur. Mendekatkan wajahnya pada wajah namja itu, lalu
mengecup kelopak matanya. Dingin.
Kriiing.
Ia menolehkan kepalanya
pada samping ranjang. Matanya menangkap sebuah buku berwarna putih di atas
meja. Dan entah ada dorongan apa hingga
ia mengambilbuku yang berhias bunga pada setiap pinggirnya itu.
Mengamatinya sesaat dan
menerka mungkinkah buku itu milik Minho. Ia tak pernah melihat buku itu
sebelumnya. Lagipula, mana mungkin seorang Choi Minho mau menulis di buku yang
terlihat seperti sebuah ‘diary’ itu?
Sret.
Selembar kertas yang
terlipat jatuh dari lipatan halaman buku tersebut, dan ia segera mengambilnya. Kertas
yang masih sama seperti buku itu, berwarna putih dan pinggirannya berhias
bunga.
Ia membuka lipatan
kertas itu, dan menemukan tulisan yang sangat dikenalnya tertera di dalamnya.
Halo, diary. Aku Choi Minho. Senang bertemu
denganmu.
Meski aku tidak suka menulis diary, tapi mungkin
mulai saat ini kita akan menjadi teman. Alasannya adalah karena aku tidak yakin
apa aku bisa mengungkapkan perasaanku padanya—akibat penyakitku yang semakin
mengganas ini. Dan aku ingin melukiskan semua tentangnya di setiap halaman
padamu. Jadi, bisakah kita berteman baik?
Kuharap jawabanmu adalah ‘iya’. (suatu pemaksaan?
Hahaha)
Well, aku akan memulai ceritaku sekarang.
Hari ini, untuk pertama kalinya malaikat berambut
blonde itu memberikan senyumnya untukku, setelah aku memberanikan diri untuk
menyapanya. Senyumnya sangat manis, dan mempesona. Aku sampai takjub dan tidak
bisa memikirkan apa pun saat itu.
Dia sungguh hebat. Bisa membuat seorang ‘flaming
charisma choi minho’ sepertiku ternganga seperti orang bodoh ketika ia
tersenyum. Lalu ia menyadarkanku dengan pertanyaannya tentang siapa diriku.
Tak kusangka ternyata ada juga yang tidak mengenal
orang populer sepertiku.
Kemudian aku memperkenalkan diriku dengan sangat
berantakan seperti anak kecil karena sangat gugup. Ia terkekeh melihatnya. Dan
aku kembali menganga. Mataku yang belo ini tidak berhenti menatapnya sampai ia
menghentikan kekehannya.
Tuhan, kenapa kau biarkan seorang malaikat pergi dari
surga dan terdampar di bumi ini? Dan yang lebih parah, kenapa kau buat aku
jatuh cinta padanya? Pada seorang Kim Taemin?
“Maaf, aku sudah
membohongimu, hyung” berujar lirih tidak pada siap pun. Jemari kecilnya
bergerak mengelus tulisan tangan Minho pada kertas putih itu.
Kemudian ia mengangkat
wajah, menengadahkan kepalanya pada langit-langit kamar. Memejamkan mata, lalu dengan
penuh perasaan mencium lembut kertas itu.
.
Alone in the room that is more spacious than usual
It’s over, guess it’s over
.
Kriiing.
Taemin terhenyak
sampai-sampai ia menjatuhkan kertas yang digenggamnya. Dengan perlahan dan
sangat hati-hati, ia meletakkan tubuh Minho pada ranjang, memperlakukannyaseolah
namja itu hanya tertidur. Setelahnya ia bangkit dari ranjang dan mengangkat
telepon.
“Taemin? Lama sekali kau mengangkatnya. Sedang
sibuk?”
“Oh? Hyung... Maaf, aku
sedang menidurkannya”
“Benarkah? Maaf mengganggu. Tapi dia sudah terlelap,
kan?”
“Ya,”
“Kalau begitu, datanglah ke tempat kenangan kita”
“...di mana? Bukankah
banyak sekali tempatnya?”
“...”
“Hyung?”
“...Kau percaya pada hati yang tersambung?”
“...umm, tidak”
“Kalau begitu, percayalah. Dengan begitu kau akan
menemukan jawabannya”
“Tapi..”
“Just believe it, baby..”
—
Gimme a time machine..
Ia memandang ke arah
depan dengan tatapan kosong. Tidak melakukan apapun selain duduk di bangku
bercat putih itu. Suara kicauan burung-burung yang terdengar tak sedikit pun
menyadarkannya dari lamunan. Ia hanya duduk bersandar pada dinding pucat yang
berhiaskan tumbuhan hijau menjalar dengan bunga berwarna merah yang telah
mekar.
Diam. Tidak bergerak.
Tidak, ia tidak mati.
Nafasnya masih berhembus teratur dan berirama. Seperti yang lainnya, degup
jantungnya pun berdetak dengan normal. Yang membuatnya menjadi terlihat seperti
mayat hidup adalah karena..
Ia sedang menunggu
seseorang.
Sejak pagi bahkan ia
belum sempat sarapan. Dengan rambut yang agak berantakan dan hanya dikuncir ke
belakang seadanya, ia duduk menunggu di sana.
.
The story created by the two of us was also in vain
I can't believe it could crumble so easily
.
Terhitung telah lima
jam ia duduk menunggu. Mustahil jika ia tidak lapar. Terlihat dari bibirnya
yang memucat dan terasa oleh tubuhnya yang semakin melemah. Tapi sekali lagi ia
berusaha tetap menunggunya. Meski ia tahu, namja itu hanya berbohong..
Seorang namja kecil berambut blonde menangis sesenggukan
di taman itu. Sedari tadi ia hanya menangis sambil terduduk, karena ia begitu
takut akan dunia luar yang belum pernah terjamah olehnya.
Sejak kecil ia hanya tinggal di dalam rumah yang
megah tanpa kasih sayang, dan ketika ia bosan akan semuanya, ia memutuskan
untuk kabur. Tapi hasilnya seperti sekarang ini, ia tersesat.
“Kenapa menangis?”
Mendongakkan kepalanya. Melihat seorang namja
brunette dengan mata coklat teduh tengah berjongkok di depannya.
“Taeminnie... tersesat...hiks” kembali menundukkan
wajah dan mengusap-usap matanya lagi.
“Namamu Taemin?” Taemin mengangguk tanpa menatap
namja brunette itu. “Hei, jangan menangis, Taemin.”
Ucapannya tidak diindahkan oleh Taemin. Ia tetap
saja menangis.
“Oh, baiklah. Bagaimana kalau kau ikut aku? Akan
kutunjukkan sesuatu yang indah padamu, dan setelah itu aku akan membantu
mencari rumahmu, bagaimana hm?” suara namja itu kembali terdengar. Taemin
mengangkat wajah sekali lagi, dan mendapati sebuah tangan yang berukuran lebih besar dari tangannya terjulur
ke arahnya. Namja brunette itu tersenyum lembut, senyum yang tak pernah
dilihatnya sebelumnya.
“Ikut.. ke mana?” akhirnya Taemin menjawab.
“Kau akan tahu nanti”
Sebagian kulit putih
pucatnya yang tersentuh cahaya mentari semakin mendingin. Nyaris seperti
hatinya yang telah membeku. Dan memori tentang masa lalunya terus berputar di
ingatannya. Layaknya sebuah film usang yang diputar ulang.
“Whoaa~ indah sekali, bukan?” merentangkan tangannya
ke udara kosong di sampingnya, menengadahkan kepala dan menghirup udara segar
sebanyak-banyaknya.
“Iya!” sahut Taemindengan riang. Sekarang ia sudah
tak menangis, tangisan itu sudah berganti dengan senyuman juga ekspresi
kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. “Taeminnie sangat menyukai tempat ini!”
“Benarkah? Baguslah. Hehe. Sebenarnya aku selalu
pergi ke sini kalau sedang bersedih” kata namja brunette itu sambil memandang
hamparan bunga bermekaran yang ada di sekeliling mereka.
“Kalau begitu, alasan kenapa hyung membawa Taeminnie
ke sini karena Taeminnie sedang bersedih?”
“Yup, kau benar”
“Tapihyung, apa padang bunga ini tetap terlihat
indah jika bukan di musim semi?” pertanyaan yang terlontar itu membuat namja
brunette memandang ke arahnya.
“Aku tidak tahu, karena aku baru sekitar seminggu
pindah ke sini”
“Kalau begitu, musim gugur nanti Taeminnie akan ke
sini untuk melihatnya. Hyung akan datang juga, kan?”
“...entahlah”
Angin musim dingin berhembus
menerpa wajahnya, membuat beberapa helai rambut blonde tipisnya bergerak
mengikuti arah angin. Dan untuk kali ini, alam berhasil membangunkannya dari
lamunannya yang ikut tersapu angin.
Ia mendongak, menatap
langit biru di atas sana.Untuk saat ini background terindah alam itu tidak
membuatnya takjub seperti dulu, karena hatinya masih terasa beku.
“If only i can return
the time..”
—
Gimme a time machine..
Sret.
Jari telunjuknya
menyentuh permukaan kaca yang tertutup oleh embun. Mengusapnya perlahan, menggoreskan
jarinya membentuk sebuah tulisan kanji yang berarti ‘Himitsu’.
“Sampai kapan kita akan
bertahan dalam kebohongan ini?”
Gerakannya terhenti,
kemudian dengan segala keanggunannya ia bersandar kembali pada kursi mobil.
Mata coklatnya menatap lurus ke arah depan tanpa memandang figur namja brunette
yang bertanya padanya.
“Bukankah kau sendiri
menikmatinya?” alih-alih menjawab, ia justru melempar pertanyaan kembali.
“Apa kau tidak merasa
bersalah padanya? Apa kau sadar bahwa kau telah menyakiti adikmu sendiri?” bertanya
dengan sinis, menatap dengan kilatan kemarahan pada yeoja berambut blonde di
sampingnya.
“Entahlah, tapi...”
mengantungkan kalimatnya. Menoleh pada figur namja yang memiliki mata seperti
bulan sabit. “Sepertinya aku mulai terjebak dalam permainanku sendiri”
“Apa maksud—?”
Sret.
Menarik kerah namja
itu, membuat wajah keduanya berjarak sangat dekat. Menatap lurus ke dalam manik
mata yang menatapnya dengan kaget.
“Jangan bertindak
bodoh, Taesun” desis namja itu saat ia telah sadar dari rasa kagetnya.
“Aku mulai terjebak
dalam permainanku sendiri, Jinki. Sepertinya aku mulai mencintaimu”
“Tch” membuang muka ke
arah lain. Terlalu muak dengan Taesun—yeoja blonde itu yang menurutnya sungguh
berhati setan. See? Sikapnya dibaik layar kehidupan menunjukkan segala
kejahatannya. Tapi sepertinya hanya ia yang mengetahui bahwa yeoja bonde itu
adalah seorang aktor pemain protagonis. Sangat berbeda dengan kehidupan
nyatanya—yang tentu saja, hanya ia yang tahu.
“Lagipula, bukankah kau
sudah berjanji padaku untuk menjauhinya dari pemikiran seorang ‘gay’? Kau
ingat, bukan, dia itu pewaris ‘CEO Kim Group’ dan dia tidak akan bisa
menghasilkan keturunan kalau menikah denganmu”
“Yang perlu kau tahu
adalah, aku dan dia saling mencintai, Kim Taesun”
“Cinta?” tertawa
mengejek setelah melepas cengkeramannya pada namja bunette itu. “Biar kuberitahu.
Cinta adalah sesuatu yang menjadi obyek dari keegoisan dunia dan takdir yang
bersekongkol”
“Kalau begitu aku
mundur dari permainan ini”
“Hey, sebuah permainan
akan tampak sempurna jika kita berkorban. Jadi kau harus ikut menyelesaikan
sandiwara ini sampai akhir atau kau justru akan menambah lukanya”
Jinki mendesah. “...tapi
aku sudah lelah”
“Tunggu sebentar lagi.
Kurasa tidak akan lama lagi dia akan berpaling darimu”
—
Gimme a time machine..
Ia masih berdiri di
sana. Bersandar pada dinding lorong gelap di tengah hujan yang mendera.Bukan
karena ia terlalu bodoh membiarkan tubuh juga baju yang dikenakannya basah,
tapi ada alasan lain yang membuatnya menjadi seperti telah gila.
.
One mistake, got a one regret
Nobody is perfect
.
Jam berwarna hitam yang
melingkar dengan manis di tangan kirinya telah menunjukkan pukul 11 malam.
Sebenarnya ia sudah lelah dan terasa berat sekali bagi kedua kakinya untuk
menopang tubuhnya yang semakin membeku.
“Kau datang!” Taemin melonjak kegirangan dan berlari
memeluk Jinki—namja brunette yang terus singgah dipikirannya selama ini. Jinki
hanya tersenyum simpul lalu mengusak rambut blonde Taemin.
“Iya, aku datang”
Taemin merasa nyaman berada di pelukan orang yang
lebih tua darinya itu, maka ia tetap dalam posisi seperti itu selama beberapa
detik. Masih ingin melepas rindu setelah tidak bertemu beberapa bulan, sampai
hari ini, hari yang mengawali musim gugur.
Kemudian ia melepas pelukannyadan melempar pandangan
ke sekitar mereka. “Tapi padang bunga ini terlihat menyedihkan, Taeminnie tidak
menyukainya lagi”
Namja brunette itu tersenyum. “Kalau kau tidak
menyukai padang bunganya, sukailah apa yang tersembunyi dibaliknya”
“Eh? Memang ada apa dibaliknya?”
“Ayo, akan kutunjukkan tempat yang tidak kalah
indahnya—seperti padang bunga saat di musim semi, di balik bukit itu!” berseru
dan setelahnya ia langsung menarik lengan Taemin. Mengajaknya berlari ke tempat
yang dimaksud.
Dan untuk pertama kalinya, Taemin merasakan hal aneh
dalam dirinya saat namja brunette itu menggenggam tangannya.
Dengan mudahnya sebulir
air mata menetes melalui sudut matanya. Menangis. Hanya satu kata itu yang
dapat mendeskripsikan keadaannya saat ini.
Setiap malam sebelum terlelap, aku selalu memikirkan
penyesalan ini.
Betapa tersiksanya diriku yang hanya mencintaimu
tanpa menerima balasan.
Aku hanya terlihat seperti sebuah bintang redup yang
berusaha menerangimu meski tersembunyi di balik kelamnya awan.
Terkadang aku terus memandangi foto kita yang
tersenyum dengan tulusnya, tanpa ada kebohongan yang menyelimuti.
Dan aku kembali merindukan saat-saat itu.
Saat di mana kau tidak mempermainkanku layaknya
boneka yang tak berperasaan.
Jika aku berada di sisimu, kenapa kau menganggapku
seperti angin lalu?
Ia menyusut air mata
yang menggenang di sudut matanya, lalu perlahan bangkit. Hendak pergi dari
tempatnya menunggu. Tidak akan menunggu lebih lama lagi. Karena dia... tidak
akan datang.
.
Right now, if I could ride a time
machine and go to meet you
I wouldn’t wish for anything else
Before the memories become distant and fleeting...
I need a time machine
.
Ketika ia melangkahkan
kakinya untuk pergi, sebuah cahaya menyorot dari arah belakang. Ia membalikkan tubuh
untuk melihat apa yang menyorotnya. Sebuah mobil.
“Taemin!” seru seorang
yeoja berambut blonde—sama sepertinya saat ia telah keluar dari mobil. Yeoja
itu berlari ke arahnya dan berhenti ketika jarak diantara mereka sudah dekat.
“Sedang apa di sini?
Ini hampir tengah malam dan hujan. Kau ini pabo apa?” yeoja itu menarik Taemin
kedalam pelukannya. Mengelus punggung Taemin dengan khawatir. “Aku khawatir
padamu. Setelah kucari ke apartemen, kau tidak ada di sana”
“Taesun-Noona sendiri
sedang apa di sini?”
“Menghangatkanmulah,
pabo!”
Taemin terkekeh. Tentu
saja sebuah kekehan hambar. Ia balas memeluk Taesun dan untuk sejenak berusaha melupakan
apa yang membuatnya sedih.
“Tenang saja Noona, aku
tidak merasa kedinginan”karena aku seperti
telah mati rasa.
“Huh! Bohong!” cibir
Taesun sengit. “Tapi biarkan aku memelukmu seperti ini dulu”
“Baiklah”
Pintu mobil terbuka,
seorang namja berperawakan tinggi keluar untuk menghampiri mereka. Ia tersenyum
ke arah Taemin yang masih dipeluk Noonanya.
“Taemin? Sedang apa kau
di sini?”
Taemin menatapnya tidak
percaya. Sedang apa?
Pertanyaan bodoh macam
apa itu? Bukankah ia yang menyuruhnya untuk menunggu di sana? Tapi kenapa—
Ah, Taemin ingat. Ini hanya
sandiwara agar Taesun tidak mengetahui bahwa mereka berhubungan dekat. Ia harus
menerima kenyataan bahwa selama ini ia terus bermain dalam sandiwara bodoh.
Tapi sampai kapan ini akan berakhir?
Taemin tersenyum meski
dipaksakan, dan tanpa sengaja sebulir air mata kembali mengalir dari matanya. Untung
saja saat ini keadaan begitu gelap dan hanya ada cahaya lampu mobil hingga air
matanya tak terlihat. Tidakkah mereka lihat bahwa senyumnya adalah palsu?
“Aku hanya keluar untuk
mencari udara segar, tiba-tiba saja hujan turun. Dan aku terjebak di sini sudah
tiga jam”
“OMO! Tiga jam dengan
baju yang basah dan kedinginan di sini? Dasar pabo! Kenapa tidak menerobos
hujan saja? Kau bisa sakit, tahu!” omel Taesun sambil menatap adiknya itu
dengan kesal.
“Noona, kau telah
memanggilku ‘pabo’ tiga kali”
“Huh. Biar saja.
Sekarang, kau harus ikut ke rumah dan keringkanlah tubuhmu di sana. Kumohon, hanya
untuk malam ini saja, karena sudah lama aku rindu padamu, adikku yang bodoh!”
ucap Taesun panjang lebar lalu ia menarik Taemin paksa untuk masuk ke mobil.
“Ini penculikan...”
decak Taemin kesal.
“Kau ini! Masa tidak
ingin melepas rindu denganku sekali saja sebelum aku bertunangan, huh?”
Dheg.
Bertunangan? Jangan
bilang kalau...
“Chagi... kau
membocorkan rahasia. Ckckck” Jinki—seorang namja lainnya, bergumam pelan, tapi
sanggup untuk Taemin dengar karena jarak mereka hanya sekitar dua langkah.
Sekali lagi Taemin
membelalakkan matanya, namun tentu saja Taesun tidak menyadarinya karena ia
tengah membuka pintu mobil. Sebelum masuk ke mobil, Taemin sempat melayangkan
tatapan penuh tanda tanya pada Jinki yang menatapnya seolah berkata ‘maaf’.
—
Sendiri di tengah kehampaan
Menangisi apa yang telah hancur
Berharap jika waktu dapat terulang kembali
“Dia sudah pergi,
hyung” berkata pelan dengan sedikit kecanggungan. Kedua tangannya mengepal,
menahan sakit yang selalu muncul bila ia berhadapan dengannya.
“Aku tahu,” balas namja
brunette itu datar sambil menatap lurus ke dalam manik figur namja blonde.
“Matamu yang mengatakannya padaku”
“Kau bohong” menggigit
bibir bawahnya, memejamkan matanya rapat agar air mata yang menggumpal di
kelopak matanya tidak jatuh saat ini.
“Bukankah sudah
kubilang, jangan pernah kau mempercayaiku”
Percuma. Akhirnya air
mata itu tumpah juga.
“Lalu.. kenapa kau
membuatku berharap?”
“Aku sudah bukan namja
yang kau kenal dulu, Taemin”
Kenapa?
Ada goresan baru yang
menyayat hatinya lagi. Membuatnya terluka. Jika dulu namja itu mencairkan
hatinya yang beku, sekarang namja itu justru menambah deritanya.
“Kenapa kau mengatakan
‘saranghae’ padaku?”
Namja brunette itu
berbalik, “Jika bukan untuk sandiwara, arti kata itu bagiku tidak lebih dari
ungkapan untuk seorang teman”
Dan ia melangkah pergi,
meninggalkan Taemin yang masih menangis seorang diri.
“Apa yang harus
kulakukan lagi agar kau kembali seperti dulu, hyung?”
—
TBC