Jumat, 18 Januari 2013

Dream

Diposting oleh Viriza Rara di 13.43 0 komentar


Hati nggak pernah berbohong. Mata selalu sejalan dengan hati. Nurani akan selalu benar. Tapi kenapa perasaan masih bisa dibohongi?

Dunia ini menjemukan. Seakan-akan tak akan ada hidup jika kebohongan tak ada. Tidakkah kalian melihatnya? Kepalsuan, tipu muslihat, pengkhianatan...

Tidakkah kalian lelah? Apa yang kalian lakukan jika hal-hal rendah seperti itu ada di sekitar kalian? Terus berdiam dan menonton tanpa ingin meluruskan, atau justru ikut campur kedalamnya?

Apa pun yang terjadi, apa pun yang membuat dunia ini lelah dan menangis meronta,  ada satu tempat yang tak mungkin ada kebohongan di sana.

That’s Heaven.

@~

Suatu hari, aku mendapati diriku berada di ruangan yang belum pernah aku mengunjunginya. Ruangan serba putih, tapi bukan rumah sakit. Karena tidak ada apa pun di sana yang bisa digenggam. Hanya ada dinding putih, dan satu jendela di salah satu sisi dinding.

Aku sendiri di sana. Tidak ada orang lain, tidak ada objek lain. Yang paling tambah mengherankan, saat aku melihat diriku sendiri, ternyata aku mengenakan pakaian serba putih. Sebenarnya ini apa dan dimana?

Meski ada rasa heran, tapi yang paling mendominasi di hatiku adalah hangat dan damai. Rasanya seperti aku telah melupakan siapa diriku sendiri dan asal-usulku. Jadi aku tak mengerti beban dan masalah.

Lalu aku melongokkan kepalaku ke luar jendela. Sunnguh, saat itu juga rasanya aku seperti ingin menangis!

Aku melihat hamparan rumput hijau yang ada beberapa pohon rindang di antaranya. Semak-semak hijau yang memanjakan penglihatan, bau embun yang khas, juga udara yang bersih. Seperti taman yang sangat diidam-idamkan saja. Alam yang telah hilang dari bumi. Sungguh, aku belum pernah menemukan yang seperti itu. Aku jadi sangat melankolis melihatnya!

“Kau lihat? Indah, bukan?”

Suara rendah itu membuatku terbangun dari lamunanku. Aku menoleh, dan mendapati sosok berjubah putih sedang berdiri di samping kananku. Ia meyeruput cairan panas dari cangkir elegan berwarna putih yang digenggamnya. Ia tidak tersenyum padaku, tapi ia tidak terlihat jahat kok. Malah terkesan seperti malaikat.

“Mm-hmm,” aku mengangguk setuju.

“Kau tidak perlu heran. Kau sudah mati, dan inilah tempatmu sekarang,”

DHEG.

Rasanya jantungku seperti berhenti berdetak saat itu juga. Mataku membulat, kaget. “A—apa? Aku sudah... mati?” tanyaku tak percaya.

“Ya, jangan takut. Tidak ada yang menyeramkan di sini. Kau tidak perlu cemas. Ini surga.”

Dan kurasa yang satu itu lebih mengagetkan. Butuh beberapa detik sampai otakku bisa mencernanya.

Sekelebat ingatanku saat hidup dahulu berputar di benakku. Dan tiba-tiba ada perasaan sedih yang menyelundup masuk ke hatiku. Ia merundungkan rasa mendung di sana.

Tiba-tiba saja aku teringat seseorang yang sangat berharga bagiku dalam hidup. Aku mengalihkan pandangan pada luar jendela. Berusaha menerima bahwa aku sudah mati, dan sekarang aku sudah berbeda dunia dengannya. Tak mungkin aku bisa bertemu lagi. Seumur hidup aku hanya mengenalnya selama empat tahun. Lalu ia menghilang dan aku pergi. Sampai akhir hidupku, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi? Hahaha, sungguh menyedihkan. Cinta ini bodoh.

Tapi entah kenapa rasanya aku merindukannya... ingin tahu dia sedang apa di sana.

Aku menghentikan lamunanku ketika tiba-tiba pemandangan indah yang dipenuhi hijau-hijauan di depan mataku hilang. Berganti dengan semacam TV yang memiliki layar super besar.

Layar itu menunjukkan padaku sesuatu, dan meski aku belum mengerti apa, aku melihat tayangan di dalamnya. Sedikit terheran kenapa justru lapangan futsal yang ada di sana dan pertandingan futsal sedang berlangsung. Mataku menelusuri seluruh layar dalam tayangan itu. Lapangan, bola yang direbutkan, dan... pemain yang ada. Mataku melihatnya dengan penasaran. Lalu mataku berhenti menelusuri. Seolah telah terpaku pada satu tempat.
Itu dia! Dia adalah seseorang yang kurindukan.

Aku tidak menyangka ia akan menjadi atlet futsal. Hebat...
Tapi, tunggu! Ada apa gerangan? Mengapa ia terlihat tersendat dalam bermainnya? Kenapa ia memegangi lengannya? Ia tampak kesakitan. Ya Tuhan, tolong dia!

‘Ia menjadi atlet futsal karena keinginan kerasnya. Ia keras kepala, padahal penyakitnya akan menjadi semakin parah jika ia bermain futsal. Beberapa waktu yang lalu ia mencapai batas maksimal kemampuannya. Dan ia meninggal.’

Dheg. Dheg.

Apa? Apa yang kudengar barusan? Ini salah, kan? Ia sudah meninggal? ..... Tidak mungkin!

Tanpa kuinginkan, air mataku merembes keluar. Aku sendiri tak mengerti kenapa, hanya saja aku tidak bisa mempercayainya. Perasaanku campur aduk.

Bisakah kau mengerti? Aku sudah sangat merindukannya sampai akhir hidupku dan aku memulai hidup baru. Begitu aku mengetahui kabarnya, ternyata dia sudah meninggal? Kejam!

Lalu kurasakan ada yang menepuk bahuku dengan pelan. Karena aku masih dalam ketidakterimaanku, aku menoleh dengan pelan. Rasanya masih berat menerimanya. Tapi begitu menoleh, aku justru terkaget.

Sosok tinggi tegap yang menepuk bahuku tersenyum padaku. Manis sekali lengkungan di bibirnya itu. Senyuman yang kurindukan!

Tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya. Rasa damai dan tenang kini merasuk dalam batinku. Tangisanku berhenti seketika. Kesedihan sudah tidak menggelayuti hatiku lagi, tidak penting, karena orang yang kurindukan sudah berada di sini. Dalam dekapan eratku.
Dan kini akan kujaga ia, selamanya... hidup dalam keabadian bersama. Dan bahagia karena tak akan ada lagi yang memisahkan kami.

Jarak? Waktu? Aku tak peduli!

@~

End!

@~

Cerita yang kuambil dari mimpiku yang persis seperti itu. Untuk seseorang, aku merindukanmu...

Stop Loving You

Diposting oleh Viriza Rara di 13.13 0 komentar

Jika dahulu aku terus berjuang untuk menyentuh hatimu,
Sekarang aku tak peduli.
Jika dahulu aku selalu menangis karena kau tak pernah mengakui keberadaanku,
Sekarang aku tak akan peduli lagi.
Seberapa sering pun kita bertemu, aku akan melihat pada obyek lain asal bukan dirimu.

Bukan aku telah berhenti menyukaimu,
Bukan aku telah berubah menjadi egois.
Bukan juga karena aku telah lelah atau kecewa pada dirimu.
Bukan. Tapi aku mengerti bahwa percuma mengharapkan apa yang tidak akan terjadi.

Karena ini mustahil.
Karena ini ditentang.
Seberapa keras aku berusaha melakukannya, aku tahu aku telah bertindak bodoh.

Dan mulai saat ini aku mencoba untuk menghentikan debaran yang tak lazim ini.
Menutup mataku terhadapmu.
Juga menutup hatiku padamu.
Semua akan kulepas.. akan ku coba untuk menghilangkannya.
Karena aku hanya ingin hidup dalam kedamaian..
Karena kau pun tak akan pernah mengerti apa itu damai.

Aku mengerti, aku hanya tak lebih dari bocah kecil yang tak akan bisa menyentuh hatimu.
Maka dari itu, percuma berharap.
Percuma, hanya akan membuat hatiku terluka.
Aku tahu, apa pun yang kulakukan, aku tetap tak akan bisa menjadi yang nomor satu bagimu.
Padahal, kau tahu tidak? Kau yang kuletakkan di nomor satu orang terpenting dalam hidiupku.
Kau adalah penyemangatku. Satu-satunya orang yang mau berusaha untuk mengertiku. Satu-satunya teman yang mau menghargai segalanya dalam diriku.
Aku bahagia kau pernah datang dalam hidupku.
Terima kasih, dan selamat tinggal untuk perasaan yang tak tersampaikan ini. ^^

Rabu, 09 Januari 2013

Justice

Diposting oleh Viriza Rara di 10.46 0 komentar

Seperti obat yang rasanya pahit, kita tidak harus memuntahkannya.
Seperti kenyataan yang dirasa menyakitkan, bukan berarti kita harus lari darinya.

Karena di balik yang menyakitkan itu ada makna tersendiri. Dan kita tidak akan bisa menduga seperti apa maknanya. Makna yang diberikan-Nya adalah maksud untuk kita bisa menjadi lebih baik dengan memahami keadilan.

Hidup itu penuh dengan misteri yang tidak bisa diterima oleh akal manusia. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya hanya bisa pasrah jika IA telah menghendaki sesuatu agar terjadi. Begitu pula jika kita harus menerima kenyataan yang pahit. Takdir yang kejam. Atau hidup yang tidak adil.

Mungkin kita akan berpikir seperti itu—takdir yang kejam atau hidup yang tidak adil pada diri kita... jika semuanya terasa berat, tapi nyatanya tidak. Kurasa itu adalah hukum karma atau yang biasa disebut dengan keadilan.
Coba dipikirkan, buah itu pasti ada karena pohon tumbuh. Pohon yang kokoh atau pun kecil sekali pun pasti memiliki akar. Maka kita harus memikirkan dahulu akar dari hasil (buah) yang kita peroleh.

Hukum keadilan alam yang tak bisa kita rubah, penjelasannya seperti ini:

Ada yang berpendapat Semua dalam hidup itu hanya memiliki dua sifat. Memberi dan menerima. Ini adalah semacam kelanjutan dari rumus itu. Jika kita memberi sesuatu pada orang, maka orang itu akan bersimpati pada kita. Suatu saat jika kita membutuhkannya, kemungkinan ia akan melakukan dua hal; menolong kita atau mengacuhkan kita. Itu adil. Sebab kemungkinan ia menolong kita adalah karena ia menerima dengan baik maksud kita dahulu memberinya. Untuk kemungkinan kedua, ia mengacuhkan atau pun tidak mau membantu kita adalah karena ia tidak menerima dengan baik maksud kita dahulu untuk memberi padanya. Jangan salahkan dia, karena semua itu ada alasannya, jadi pasti ada sebabnya pula ia tak menerima dengan baik maksud kita.

Mungkin hukum keadilan itu bermaksud untuk memberi pelajaran bagi kita, agar kita menjadi kuat. Agar kita bisa lebih tegar dalam menghadapi hidup. Atau agar kita bisa introspeksi diri. Adil, bukan? Dengan hadirnya masalah itu, kita bisa menjadi lebih baik. Maka dari itu, mulailah untuk menganggap segalanya dari perspektif yang berbeda. Masalah jangan dianggap beban, karena Tuhan selalu memiliki alasan yang baik. Percaya pada-Nya. Berlapang dada dan kembali untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya. Insya Allah, ada jalan... ^^


Aku bisa berbicara seperti ini, bukan karena aku sok tahu. Tentu saja ada prosesnya. Prosesnya adalah pengalaman pribadi, yang bisa lebih dikategorikan pada diary jika dituliskan. Hehehe...

Sekadar share pengalaman deh, juga, aku ingin jika suatu saat diriku membaca tulisan ini, aku ingin diriku mengingat rasa itu... jadilah lebih baik, janji?


Saat itu, sore yang dingin. Hujan turun dengan derasnya. Aku tahu, langit bersedih. Ia menjadi gelap dan meringkuk di sudut sore.

Aku berdiri di samping hujan. Masih berteduh di bawah atap yang menaungi rumahku.

Dengan terkenangnya masa lampau dalam memori otakku, aku ikut bersedih. Aku rindu pada perasaan lama yang telah terkubur dalam hati. Dan rasa itu bisa kucecap bila hujan ada. Dengan harumnya, suaranya, juga setiap butiran rintiknya yang semakin membawaku terhanyut.

Aku menangis. Tanpa sadar. Karena aku menyadari mataku memanas dan tiba-tiba saja butiran air mata itu sudah mengalir di pipi.

Aku memejamkan mata. Menarik nafas yang terasa begitu berat melewati rongga dadaku. Menenangkan diri agar tidak terus menangis. Karena aku tidak suka menangis. Menjadi cengeng itu bukan keinginanku. Karena aku harus tegar. Harus menjadi seseorang yang kuat.

Tapi saat aku membuka mata lagi, air mata itu semakin deras mengalir. Aku tidak bisa menahannya. Harumnya hujan yang ku hirup membuatku semakin sesak.

Aku rindu semua di masa dulu...

Rumah, sekolah, teman, cinta, ayah, keceriaan yang hilang, hati yang masih utuh, dan dirimu.
Tangis dan kesedihanku menguap pada tiap tetes hujan yang menghujam. Tapi setelahnya tidak segera habis, karena timbul sedih yang baru hingga menjadi bertumpuk-tumpuk. Aku berusaha tersenyum. 
Meski menangis, aku harus tetap bisa tersenyum... karena senyum adalah lambang ketegaranku. Memang bodoh sekali kalau aku menghias kesedihan di mata sedangkan bibirku tersenyum. Tak apa, biarlah aku terlihat seperti orang bodoh. Aku tak peduli, karena aku akan tetap tersenyum meski rasanya sakit sekali pun.

Mengapa hidupku itu tak adil? Dahulu, saat masih kanak-kanak, aku bisa dengan polosnya tertawa dan tersenyum bahagia tanpa memikirkan permasalahan yang ada dalam keluarga. Aku bisa dengan bersemangatnya bermain dan berlari sekencang-kencangnya tanpa takut akan apa pun. Tapi sangat berbeda dengan sekarang. Sekarang aku lebih sering depresi. Bersedih dan menangis. Hidup ini tak adil. Kenapa harus aku yang merasakan seperti ini? Kenapa harus aku yang menangis, sedangkan mereka bisa tersenyum bahagia di sana?

Saat ini aku berbeda. Masa kecilku sudah tak berbekas lagi. Semuanya lenyap semenjak ayah pergi. Ayah, aku merindukanmu... sedang apa kau di sana? Apa kau baik-baik saja? Apa kau bisa tersenyum di sana? Baguslah. Kau tidak perlu melihatku menangis seperti ini, ayah. Bagiku cukup hanya dengan kau bisa tersenyum meski kita jauh. Karena kata ibu, kau pergi dengan senyuman, bukan? Maka teruslah tersenyum, ayah.

Ayah, ku harap kau tidak tahu aku di sini menjumpai banyak kesulitan. Aku tidak mau kau bersedih. Biarkan aku menangis sendiri, meski terkadang aku merasa butuh sandaran bahu seseorang agar aku bisa menangis sepuasnya. Agar aku tidak merasa sendiri saat menangis. Karena menangis dalam kesendirian itu sepi dan menyiksa.

Ah, benarkan? Aku merindukan masa laluku. Air mataku ini saksinya. Aku rindu bahagia yang dulu kurasa. Aku benci dengan sedih dan bertumpuk-tumpuk masalah yang kini kuhadapi. Hidup tidak adil padaku! Takdir ini begitu kejam!

Ah, tapi... apa gunanya pula aku menangis dan memaki takdir juga hidup? Toh dengan memaki dan semakin dalam menangis tak akan merubah segalanya. Hanya aku yang membuang waktuku sia-sia tanpa mendapatkan hasil yang berarti. Aku harus berhenti. Aku harus mau intospeksi. Pasti semua ada alasannya, bukan? Pasti di balik semua masalah itu adalah alasan yang baik, kan? Ya, pasti seperti itu...

Aku tengadah pada langit. Mencari-cari sesuatu di sana, di balik awan-awan gelap yang menjatuhkan air mata. Sesuatu tak jelas yang di sebut keadilan. Mungkinkah keadilan itu ada? Mungkinkah keadilan itu berjalan semestinya? Tapi kalau ia ada, kenapa aku merasa hidup ini begitu tak adil? Apakah keadilan itu masih tersembunyi?

Aku merentangkan tanganku, membiarkan hujan menyentuhku dengan hujamannya yang lembut. Ku balikkan telapak tanganku. Menikmati rasa yang kudapat ketika tetes hujan terjatuh, lalu menabrak kulitku dan terpecah. Seolah-olah ia melebur di angin membawa harapanku bersamanya.

Lalu aku mulai memikirkan. Bagaimana aku bisa seperti ini? Pastilah ada alasannya.

Satu detik aku memejamkan mataku rapat-rapat, mengingat-ngingat penyebab yang mungkin berhubungan dengan masalahku. Satu detik kemudian aku masih mencari. Dan beberapa detik kemudian aku kaget. Membuka mataku, dan menyadari sesuatu.

Ternyata akulah penyebabnya secara tidak langsung. Memang kecil yang ku perbuat, dan tak seorang pun tahu kecuali diriku sendiri. Aku telah menyakiti orang lain. Tanpa sadar aku langsung menyakitinya begitu pertama kali bertemu dan melihatnya. Aku tidak sengaja. Aku tidak ingin untuk berpikir seperti itu. Tapi itu refleks. Dan mungkin karena sudah menjdi kebiasaanku. Nah, itu dia! Pasti kebiasaanku itu buruk karena bisa menyakiti orang. Jadi, aku harus mulai berubah!

Aku kembali menatap langit. Kali ini air mataku mengalir bahagia. Seulas senyum mengukir di bibirku. Aku berterima kasih pada hujan juga langit yang dengan setia membirkanku menangis tanpa protes. Tanpa berkomentar apa pun atas masalahku dan kesedihanku. Mereka adalah teman bisuku yang mau mengertiku.

Sekarang aku mengerti, bahwa apa yang kita lempar pasti akan memantul kembali. Ya, kurasa, keadilan itu selalu ada bersama kita, tapi mungkin kita tidak menyadarinya...

#End of Diary gaje

Ahahaha. Cerita yang sederhana dan gak ada klimaksnya memang. Tapi aku senang menulisnya. Entah kenapa kata-katanya aku tak kesulitan untuk menemukannya dalam benakku. Padahal biasanya aku sulit bercerita atau membuat fiksi. Sabodo ah, sabodo. U.ua



Seperti daun yang jika gugur dari pohonnya ia tak pernah menyalahkan angin,
Maka kita pun jangan menyalahkan takdir jika hidup kita sulit.

Hukum keadilan terkadang memang menyakitkan. Tapi kita tidak bisa menyalahkannya. Tahukah kamu, orang yang menyakiti lebih menderita dibandingkan dengan orang yang disakitinya? Ini adalah sebagian dari hukum keadilan. Maka kita hanya perlu memaafkan dan introspeksi diri jika tersakiti. Dengan begitu kita bisa memetik hikmahnya dan tidak akan membuat pintu rezeki kita tertutup karena kita yang berlapang dada.

Mungkin jika ada masalah untuk berlapang dadanya, kita bisa lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Sekali lagi kukatakan, yakinlah pada-Nya, bertawakallah pada-Nya. Semua pasti ada jalan. Jangan sedih atau terpuruk berlarut-larut, karena itu justru akan menutup pikiran kita dan tingkat kesulitan untuk menyelesaikan masalahnya akan meningkat.

Semuanya akan menjadi ringan jika kita ikhlas, dan menyadari bahwa hidup bukan untuk mengejar harta. Hidup seharusnya kita gunakan untuk mencari bekal amal sebanyak-banyaknya, untuk kehidupan kita selanjutnya kelak. Kita senantiasa harus mengingat-Nya, takut pada-Nya, pasrah pada-Nya, dan ikhlas... ^^

[ Vistory ]

Halaman

Pages

Cari Blog Ini

Jumlah Pengunjung

 

SAN3R Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting