Hati nggak pernah
berbohong. Mata selalu sejalan dengan hati. Nurani akan selalu benar. Tapi
kenapa perasaan masih bisa dibohongi?
Dunia ini menjemukan.
Seakan-akan tak akan ada hidup jika kebohongan tak ada. Tidakkah kalian
melihatnya? Kepalsuan, tipu muslihat, pengkhianatan...
Tidakkah kalian lelah? Apa
yang kalian lakukan jika hal-hal rendah seperti itu ada di sekitar kalian?
Terus berdiam dan menonton tanpa ingin meluruskan, atau justru ikut campur
kedalamnya?
Apa pun yang terjadi, apa
pun yang membuat dunia ini lelah dan menangis meronta, ada satu tempat yang tak mungkin ada
kebohongan di sana.
That’s Heaven.
@~
Suatu hari, aku mendapati
diriku berada di ruangan yang belum pernah aku mengunjunginya. Ruangan serba
putih, tapi bukan rumah sakit. Karena tidak ada apa pun di sana yang bisa
digenggam. Hanya ada dinding putih, dan satu jendela di salah satu sisi
dinding.
Aku sendiri di sana. Tidak
ada orang lain, tidak ada objek lain. Yang paling tambah mengherankan, saat aku
melihat diriku sendiri, ternyata aku mengenakan pakaian serba putih. Sebenarnya
ini apa dan dimana?
Meski ada rasa heran, tapi
yang paling mendominasi di hatiku adalah hangat dan damai. Rasanya seperti aku
telah melupakan siapa diriku sendiri dan asal-usulku. Jadi aku tak mengerti
beban dan masalah.
Lalu aku melongokkan
kepalaku ke luar jendela. Sunnguh, saat itu juga rasanya aku seperti ingin
menangis!
Aku melihat hamparan
rumput hijau yang ada beberapa pohon rindang di antaranya. Semak-semak hijau yang
memanjakan penglihatan, bau embun yang khas, juga udara yang bersih. Seperti
taman yang sangat diidam-idamkan saja. Alam yang telah hilang dari bumi.
Sungguh, aku belum pernah menemukan yang seperti itu. Aku jadi sangat
melankolis melihatnya!
“Kau lihat? Indah, bukan?”
Suara rendah itu membuatku
terbangun dari lamunanku. Aku menoleh, dan mendapati sosok berjubah putih
sedang berdiri di samping kananku. Ia meyeruput cairan panas dari cangkir
elegan berwarna putih yang digenggamnya. Ia tidak tersenyum padaku, tapi ia
tidak terlihat jahat kok. Malah terkesan seperti malaikat.
“Mm-hmm,” aku mengangguk
setuju.
“Kau tidak perlu heran.
Kau sudah mati, dan inilah tempatmu sekarang,”
DHEG.
Rasanya jantungku seperti
berhenti berdetak saat itu juga. Mataku membulat, kaget. “A—apa? Aku sudah...
mati?” tanyaku tak percaya.
“Ya, jangan takut. Tidak
ada yang menyeramkan di sini. Kau tidak perlu cemas. Ini surga.”
Dan kurasa yang satu itu
lebih mengagetkan. Butuh beberapa detik sampai otakku bisa mencernanya.
Sekelebat ingatanku saat
hidup dahulu berputar di benakku. Dan tiba-tiba ada perasaan sedih yang
menyelundup masuk ke hatiku. Ia merundungkan rasa mendung di sana.
Tiba-tiba saja aku
teringat seseorang yang sangat berharga bagiku dalam hidup. Aku mengalihkan
pandangan pada luar jendela. Berusaha menerima bahwa aku sudah mati, dan
sekarang aku sudah berbeda dunia dengannya. Tak mungkin aku bisa bertemu lagi.
Seumur hidup aku hanya mengenalnya selama empat tahun. Lalu ia menghilang dan
aku pergi. Sampai akhir hidupku, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi?
Hahaha, sungguh menyedihkan. Cinta ini bodoh.
Tapi entah kenapa rasanya
aku merindukannya... ingin tahu dia sedang apa di sana.
Aku menghentikan lamunanku
ketika tiba-tiba pemandangan indah yang dipenuhi hijau-hijauan di depan mataku
hilang. Berganti dengan semacam TV yang memiliki layar super besar.
Layar itu menunjukkan
padaku sesuatu, dan meski aku belum mengerti apa, aku melihat tayangan di
dalamnya. Sedikit terheran kenapa justru lapangan futsal yang ada di sana dan
pertandingan futsal sedang berlangsung. Mataku menelusuri seluruh layar dalam
tayangan itu. Lapangan, bola yang direbutkan, dan... pemain yang ada. Mataku
melihatnya dengan penasaran. Lalu mataku berhenti menelusuri. Seolah telah
terpaku pada satu tempat.
Itu dia! Dia adalah
seseorang yang kurindukan.
Aku tidak menyangka ia
akan menjadi atlet futsal. Hebat...
Tapi, tunggu! Ada apa
gerangan? Mengapa ia terlihat tersendat dalam bermainnya? Kenapa ia memegangi
lengannya? Ia tampak kesakitan. Ya Tuhan, tolong dia!
‘Ia menjadi atlet futsal karena keinginan kerasnya. Ia
keras kepala, padahal penyakitnya akan menjadi semakin parah jika ia bermain
futsal. Beberapa waktu yang lalu ia mencapai batas maksimal kemampuannya. Dan ia
meninggal.’
Dheg. Dheg.
Apa? Apa yang kudengar
barusan? Ini salah, kan? Ia sudah meninggal? ..... Tidak mungkin!
Tanpa kuinginkan, air
mataku merembes keluar. Aku sendiri tak mengerti kenapa, hanya saja aku tidak
bisa mempercayainya. Perasaanku campur aduk.
Bisakah kau mengerti? Aku
sudah sangat merindukannya sampai akhir hidupku dan aku memulai hidup baru. Begitu
aku mengetahui kabarnya, ternyata dia sudah meninggal? Kejam!
Lalu kurasakan ada yang
menepuk bahuku dengan pelan. Karena aku masih dalam ketidakterimaanku, aku
menoleh dengan pelan. Rasanya masih berat menerimanya. Tapi begitu menoleh, aku
justru terkaget.
Sosok tinggi tegap yang
menepuk bahuku tersenyum padaku. Manis sekali lengkungan di bibirnya itu.
Senyuman yang kurindukan!
Tanpa pikir panjang aku
langsung memeluknya. Rasa damai dan tenang kini merasuk dalam batinku. Tangisanku
berhenti seketika. Kesedihan sudah tidak menggelayuti hatiku lagi, tidak
penting, karena orang yang kurindukan sudah berada di sini. Dalam dekapan eratku.
Dan kini akan kujaga ia,
selamanya... hidup dalam keabadian bersama. Dan bahagia karena tak akan ada
lagi yang memisahkan kami.
Jarak? Waktu? Aku tak
peduli!
@~
End!
@~
Cerita yang kuambil dari
mimpiku yang persis seperti itu. Untuk seseorang, aku merindukanmu...